Seperti rumah - rumah tradisional lain di Asia
Tenggara, rumoh Aceh atau rumah Aceh berupa rumah panggung. Tidak sekadar
sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang
Aceh yang kaya makna.
Menurut penelitian Snouck Hurgronje sebagaimana
terdapat dalam The Achehnese, 1893, rumoh Aceh secara tradisional terdiri dari
tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh
dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan rumoh dengan lima ruang memiliki
24 tiang.
Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya
bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang
ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau
serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, tempat masuk ke
rumah yang selalu berada di sebelah timur.
Orientasi rumah selalu dari timur ke barat, yaitu
bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada
di barat. Hal ini terkait dengan kepercayaan Islam yang melekat sejak lama di
Aceh, yaitu arah ke Mekkah (ke arah barat dari Aceh) menjadi orientasi.
Penambahan ruang selalu dilakukan di sisi utara atau selatan.
Elemen penting pada rumah Aceh adalah pintu utama
rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya
ketinggian pintu ini hanya 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke
rumah Aceh harus menunduk. Tak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukan
pengunjung, setiap masuk rumah harus menunduk, tanda hormat.
Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang
sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja.
Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang
tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Seringkali pintu rumah Aceh ini
diibaratkan hati orang Aceh. Sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk
akan diterima dengan lapang dada dan hangat.
Bagian bawah rumah atau yup moh juga memiliki peran
penting. Selain untuk mengantisipasi banjir dan ancaman binatang buas, yup moh
juga bisa menjadi kandang ayam, kambing, dan itik. Dan bagian yang selalu
berada di yup moh adalah jeungki atau penumbuk padi dan krongs atau tempat
menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua
meter.
Di sejumlah wilayah, yup moh juga digunakan kaum
perempuan untuk membuat kain songket Aceh, seperti ditemui di Aceh Besar.
Pembangunan rumoh Aceh juga tak sembarangan. Harus
dipilih hari yang tepat, yang biasanya ditentukan oleh teungku (ulama)
setempat. Kenduri yang di dalamnya selalu ada peusijuk atau upacara tepung
tawar dilakukan sejak tiang rumah pertama mulai dipancangkan.
Kayu merupakan bahan utama rumah Aceh. Semua tiang
utama terbuat dari kayu bulat pilihan, dinding dan lantai rumah juga dari papan
kayu, serta atap dari daun rumbia atau daun pohon sagu. Struktur utama bangunan
dari kayu-kayu pilihan, yang dibangun tanpa menggunakan paku ini, bisa bertahan
hingga 200 tahun. Namun, masalah bahan baku kayu ini pula yang membuat rumah
Aceh kini sulit dibangun lagi.
Transformasi
Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di
desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar.
Namun, jumlahnya terus berkurang. Tak ada survei pasti mengenai jumlah rumoh
Aceh yang masih tersisa, tetapi Kabupaten Pidie sepertinya menyisakan rumoh
Aceh dengan jumlah paling banyak.
Di Banda Aceh sendiri, rumoh Aceh telah musnah disapu
tsunami. Di kawasan Lambung, Kecamatan Meuraxa, dan Kampung Jawa, Kecamatan
Kutaraja, sebelum tsunami ada sejumlah rumoh Aceh. Di Kampung Jawa, Muslim Aid
mencoba membangun kembali rumah untuk korban tsunami, dengan bentuk mengadopsi
rumoh Aceh.
Namun, rumah bantuan ini banyak dikeluhkan warga
karena kualitas bahan yang buruk, misalnya tiang dari batang kelapa. Belum
setahun dibangun, banyak rumah yang rusak. Bahkan, seorang warga di Kampung
Jawa menghancurkan rumah bantuan itu karena kualitasnya dinilai tak memuaskan.
Organisasi nonpemerintah yang lain, misalnya Up Link,
mencoba memodifikasi prinsip rumah panggung dari arsitektur lokal rumoh Aceh
dalam desain rumah bantuan panggung yang terdiri dari dua lantai dengan bahan
dari beton. Warga korban tsunami banyak yang memodifikasi bagian bawah rumah
atau yup moh rumah bantuan untuk berbagai fungsi, seperti warung atau kios.
Namun, hampir semua rumah bantuan baru, termasuk yang
dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, berupa rumah
modern dari tembok atau papan yang tak mengindahkan arsitektur lokal.
Saleum Rakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar