Ratu Nahrasiyah merupakan salah satu ratu ternama di Kerajaan Samudera Pasai. Kegungannya tampak pada makamnya yang dibuat dari pualam penuh ukiran kaligrafi.
Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” mengungkapkan bahwa Ratu Nahrasiyah merupakan seorang ratu yang menjadi pusat perhatian para ahli sejarah untuk menulisnya. Tak terkecuali Dr Cristian Snouck Hourgronje dari Belanda.
Ketika awal awal diangkat menjadi guru besar di Rijks Universiteit Leiden, dan dikukuhkan pada 23 Januari 1907, Snouck sangat tertarik untuk meneliti tentang kuburan Ratu Nahrasiyah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai. Dalam buku “Arabie en Oost Indie,” 1907, Snouck menulis tentang Ratu Nahrasiyah yang dimakamkan di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai yang makamnya terbuat dari pualam, yang merupakan makam ratu Islam yang terindah di Asia Tenggara, yang dihiasi dengan ukiran kaligrafi.
Menurut Snouck makan Ratu Nahrasiyah merupakan
duplikat dari makam Umar ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang
mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih
setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga dipakai pada pembangunan makam Maulana
Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.
Melihat bentuk makamnya yang indah dan istimewa, bisa
dipastikan kalau Ratu Nahrasiyah merupakan raja perempuan terbesar pada
zamannya. Pada nisannya terdapat nukilan-nukilan huruf Arab yang berisi
informasi tentang makam tersebut: Ibrahim Alfian menjelaskan, ukiran berbahasa
Arab itu bila diterjemahkan dalam bahasa Melayu bermakna;
“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci Ratu
yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrasiyah...putri Sultan
Zain al-Abidin putera Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Sulthan Al
Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya,
meninggal dunia dengan rahmat Allah pada hari Senin 17 Zulhijah 832.”
J. P. Moquete dalam “De Grafsteenen te Pase en Grisse
verge leken met dergelijke mo menten uit Hindoestan” memperkirakan tanggal dan
tahun hijriah yang tertera di makam itu bertepatan dengan 27 September 1428
masehi.
Menurut Ibrahim Alfian, kebiasaan raja-raja Pasai
selalu mengeluarkan mata uang emas yang disebut deureuham atau dirham, namun
dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan
baik dalam berbagai koleksi maupun literatur numismatik mata uang emas kerajaan
kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal itu Ibrahim Alfian menjelaskan hal itu
karena Ratu Nahrasiyah setelah suaminya syahid, dengan suami yang kedua
sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Suaminya, Salahuddin tidak memakai
gelar Malik az-Zahir pada sisi depan mata uang emasnya karena ia bukan
keturunan dinasti Malik az-Zahir. Hanya pada sisi belakang dirhamnya tercantum
kata “As Sulthan Al Adil” sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai.
Dirham Salahuddin beratnya 0,60 gram dengan diameter 10 mm dengan mutu emas 17
karat.
Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sulthan Zainal
Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan
sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang
tertulis, “As Sulthan Al Adil”.
Dirham milik Sulthan Zainal Abidin berdiameter 13 mm
dengan berat 0,06 gram dengan mutu emas 18 karat. Dalam literatur Tiongkok
seperti kronik Dinasti Ming (1368-1643), nama Sulthan Zainal Abidin dikenal
dengan sebutan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
Dicatat dalam Ying-yai
Sheng-lan Ibrahim Alfian menjelaskan,
berdasarkan kronik Dinasti Ming buku 32 diungkapkan, Raja
tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirimkan utusan-utusannya ditemani seorang penerjemah
(sida-sida) Cina bernama Yin Ching ketika menghadap raja Cina Ch’engtsu
(1403-1424) dan membawakan upeti. Maharaja Cina kemudian mengeluarkan dekrit
dan mengangkatnya sebagai raja Sumatera. Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirim
upeti setiap tahun kepada Ch’engtsu selama maharaja itu masih hidup.
Selain jejak sejaran berupa nisan, keterangan tentang
Ratu Nahrasiyah juga terdapat dalam buku sejarah Cina, “Ying-yai Sheng-lan”
yang berisi tentang laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Ma
Huan seorang pelawat Cina muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena
dapat menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai
negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Di dalam Ying-yai Sheng-lan diceritakan bahwa Raja
Samudera diserang oleh Raja Nakur, dan dalam pertempuran itu, Raja Samudera
tewas terkena panah beracun. Permaisurinya menyatakan sumpah di depan rakyatnya
bahwa siapa yang dapat menuntut balas atas kematian suaminya, ia akan
menikahinya dan bersedia pula untuk memerintah kerajaan Samudera bersama-sama.
Muncullah sosok yang telah berumur, seorang Panglima
Laot, pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk mengurus perikanan menyatakan
kesanggupannya untuk mengemban amanah itu. Makan berangkatlah ia memimpin bala
tentara Samudera untuk berperang melawan Raja Nakur. Dalam peperangan itu,
pasukan Raja Nakur berhasil dikalahkan, menyerah dan mengundurkan diri, serta
berjanji tidak akan melakukan permusuhan terhadap Kerajaan Samudera. Ratu,
sebagaimana seharusnya seorang pemimpin, menepati janjinya dan menikah dengan
Panglima Laot.
Pada tahun 1409 M, karena sadar akan kewibawaanya, suami sang ratu itu mengantar upeti kepada raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) yang terdiri dari berbagai hasil bumi negerinya dan diterima dengan senang hati oleh raja Cina. Dalam tahun 1412 ia kembali ke Samudera, putra raja terdahulu yang telah beranjak dewasa secara rahasia bersekutu dengan para bangsawan dan berhasil membunuh ayah tirinya seta mengambil alih tampuk kerajaan.
Pada tahun 1409 M, karena sadar akan kewibawaanya, suami sang ratu itu mengantar upeti kepada raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) yang terdiri dari berbagai hasil bumi negerinya dan diterima dengan senang hati oleh raja Cina. Dalam tahun 1412 ia kembali ke Samudera, putra raja terdahulu yang telah beranjak dewasa secara rahasia bersekutu dengan para bangsawan dan berhasil membunuh ayah tirinya seta mengambil alih tampuk kerajaan.
Suami kedua ratu itu yang mempunyai kemenakan
Su-Kan-Lah (Sekandar, Iskandar). Ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya beserta
keluarga-keluarga mereka, lalu menarik diri ke daerah pegunungan. Di sana ia
mendirikan benteng pertahanan dan kemudian melakukan serangan-serangan ke
Samudera untuk menuntut balas atas kematian pamannya, Sulthan Salahuddin.
Pada tahun 1415 M Cheng Ho dan armadanya mengunjungi
Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan,
Sekandar bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng
Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh
sebagian besar penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung
pulau Sumatera.
Sekandar kemudian tertangkap dan dibawa sebagai
tawanan ke istana maharaja Cina. Di sana Sekandar dijatuhi hukuman mati.
Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tak lain
adalah Ratu Nahrasiyah, putri Sulthan Zainal Abidin.
Nisan dengan Surat Yasin
Nisan dengan Surat Yasin
Pada makan Ratu Nahrasiyah terukir surat Yasin dengan
kaligrafi yang indah bersama ayat kursi yang termaktub dalam surat Al Baqarah.
Selain itu terdapat juga petikan dari kitab suci Alquran antara lain ayat 18
dan 19 surat Ali Imran. H B Jasin dalam buku “Bacaan Mulia” terbitan Jembatan,
Jakarta, 1991 menterjemahkan kedua ayat itu :
Allah menyatakan
Tiada Tuhan selain Ia
Yang berdiri di atas keadilan
Demikian pula malaikat
Dan orang berilmu [menyatakan demikian]
Tiada Tuhan selain Ia
Yang maha perkasa
Yang maha bijaksana
Sunguh,
Agama pada Allah ialah Islam
Dan tiada berselisih orang
Yang diberii Alkitab
Kecuali sesudah beroleh ilmu
Karena kedengkian antara sesama
Dan, barang siapa ingkar ayat-ayat Allah
Sungguh, Allah cepat dalam perhitungan
Ayat 285 dan 286 dalam surat Albaqarah juga turut
dipahat pada makam Ratu Nahrasiyah. Kedua ayat itu ditafsirkan bermakna :
Rasul beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.
[demikian pula] orang-orang yang beriman
Masing-masin [mereka] beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulnya.
“Kami tiada membedakan Rasul-rasul-Nya yang satu dari
yang lain,” [kata mereka]
Dan mereka berkata [pula]
“Kami mendengar dan kami taat, berilah kami ampun,
Tuhan kami,
Jangan hukum kami, kepadamulah kami kembali.”
Allah tiada membebani seseorang,
Kecuali menurut kemampuannya.
Ia mendengar [pahala] dari [kebaikan] yang
dilakukannya
Dan mendapat [azab] dari [kejahatan] yang
dilakukannya
[Berdoalah] “Tuhan kami jangan hukum kami, jika kami
lupa atau melakukan kekeliruan.
Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan beban [yang
berat]
Seperi yang Kau bebankan atas orang sebelum kami.
Ampunilah kami dan rahmatilah kami
Kaulah pelindung kami
Maka tolonglah kami melawan kaum kafir.”
Makam Ratu Nahrasiyah tampak begitu penting bagi
rakyatnya, sehingga dibangun dengan sangat indah. Makan itu dibuat begitu
monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya
sebagai seorang ratu. Terhadap kebesaran dan keagungan Ratu Nahrasiyah itu, di
akhir tulisannya Ibrahim Alfian menulis:
“Kita
yang sekarang hidup di lingkungan yang jauh lebih sekuler mungkin tak lagi
begitu memahami dan menghayati arti makam. Akan tetapi, kitapun selalu
merasakan dan menyaksikan bahwa selalu ada yang kurang dalam hidup. Para
wisatawan yang berasal dari negara-negara makmur berkelana ke wilayah-wilayah
yang lebih jauh dari tempat asalnya untuk sesuatu yang terasa kurang itu. Dan
makan Ratu Nahrasiyah yang begitu agung dan indah ini mungkin salah satu yang
dicari mereka dan mungkin pula kita semua.”
Saleum Rakan
RANUP ATJEH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar