BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarkat majemuk seperti indonesia,
bukan hanya secara horizontal beraneka ragam corak kesukubangsaan dan
kebudayaan suku bangsanya, akan tetapi juga secara vertikal atau jenjang meurut
kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politik yg terdapat
didalamnya.
Sebagai bangsa yang memiliki
keragaman etnis, agama, dan budaya yang luarbiasa tersebut.Indonesia sering
dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide
pluralisme, dan multikulturalisme dapat dilangsungkan. Persentuhan keragaman
budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama
telah melahirkan berbagai keragaman konflik dan konsensus yang tanpa disadari
oleh banyak orang indonesia, hal itu terjadi karena adanya golongan dominan dan
minoritas yang seharusnya tidak perlu ada.
Lemahnya pemahaman manusia sebagai
makhluk sosial terhadap keragaman dan kesetaraan telah menciptakan kesenjangan.
Untuk itu, berikut uraian mengenai manusia keragaman, dan kesetaraan dalam
kehidupan sosial secara lebih spesifik.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang dan pembahasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Abc
b. Def
c. Ghi
BAB
II
MANUSIA,
KERAGAMAN, DAN KESETARAAN
A.
KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA
SOSIAL DAN BUDAYA
Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola,
struktur mozaik sosial-budaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat
dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah
agama, dan dari aspek tingkat pendidikan. Pertama, dari aspek struktur
kesukuan, keseluruhan struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian
utama. Keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line)
yang terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia
Timur. Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara pola Indonesia Barat dengan
pola Indonesia Timur (Selanjutnya disingkat dengan PIB untuk yang pertama, dan PIT
untuk yang disebut terakhir).
Pertama, dari 656 suku diseluruh Nusantara
hanya ada seperenam (109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima perenam (547
suku). Dari jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlima (300-an suku)
berdiam di Papua Barat. Karena itu,dapat disimpulkan bahwa keragaman suku di
PIT jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.
Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh,
Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura dan Bali, dari sembilan suku dominan
di Indonesia ada di PIB dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu Bugis. Sementara
suku-suku dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa,
Madura, Bali, dan Bugis. Suku-suku tersebut dikatakan domain berdasarkan tiga
kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya kerajaan dan
masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3) menyumbangkan banyak tokoh
nasional dalam hampir semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang kebudayaan,
intelektual, dan kenegaraan. (Tomagola,1990).
Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami
satu provinsi secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti
suku Minang dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecamatan saja dapat
ditemukan lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20 suku,
dan, besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari 40 suku.
Sementara dalam tinjauan Koenjaraningrat
(1987: 32), suku bangsa di Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata
pencaharian yang dominan digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus
dipengaruhi oleh suatu peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintah
kolonial, kebijakan pemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam.
Antara lain dapat dikelompokan pada masyarakat berburu, berladang, tani sawah,
berkebun, pengembara dan seterusnya.
Berdasarkan tingkat perkembangan sistem
teknologi, pengetahuan, pola-pola pengeksploitasian dan penguasaan
sumber-sumber daya ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang
lebih luas ini, kelompok-kelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di
wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi ke dalam
empat kategori utama, di mana satu sama lainnya memiliki tingkat daya adaptasi
yang berbeda satu sama lainnya.
Pertama, adalah kelompok masyarakat yang
dapat dikategorikan sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi,
jumlah anggota kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang
tergolong kepada tribal society ini biasanya hidup dalam
persekutuan-persekutuan hidup yang beranggotakan lebih/kurang 50 jiwa saja.
Masing-masing persekutuan hidup itu tidak terintegrasi ke dalam persekutuan
(polotik) yang lebih luas. Pada umumnya bermata pencaharian berburu dan meramu
(hunting and food gathering). Berkaitan dengan sistem pemenuhan kebutuhan
sehari-hari ini, biasanya, pola permukiman kelompok masyarakat ini bersifat
nomadis (berpindah-pindah tempat), meski batas-batas wilayah pengembaraannya
itu tetap dapat ditentukan secara pasti.
Sejauh yang dapat diketahui, kelompok
masyarakat yang dapat dikategorikan tribal society hanyalah sebagian dari orang
kubu (Suku Anak Dalam) yang hidup di wilayah belantara jambi dan sumatera
selatan. Konon juga terdapat di beberapa daerah pedalaman Irian Jaya,
Kalimantan, dan Sulawesi (bagian Tengah).
Kedua, kelompok masyarakat perladangan
berputar (rotary cultivation), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat
yang mengembangkan sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Karena
dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada unsur pekerjaan
menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut sebagai slash dan burning
cultivation. Karena kegiatan pertanian itu tidak diselenggarakan secara
terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka kegiatan pertanian ini
sering pula dikategorikan sebagai suatu cara produksi pertanian ekstensif
(extensive agriculture).
Kelompok masyarakat yang terdapat di dalamnya
merupakan kelompok masyarakat yang dapat bercocok tanam untuk menghasilkan
bahan makanan pokoknya (food producing) sendiri. Sebagian besar kelompok
masyarakat ini berada di luar Jawa, dengan sedikit pengecualian di beberapa
tempat tertentu saja, seperti masyarakat badui, misalnya. Komposisi demografis
kelompok masyarakat ini berjumlah lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok
masyarakat yang pertama. Bisa mencapai angka ribuan jiwa. Meski begitu,
keterikatan aanggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih menekankan
pada sistem kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum
sepenuhnya terintegrasi pada sistem sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan
sistem sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks.
Ketiga, kelompok masyarakat petani (pesant
society). Kelompok masyarakat ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang
mengembangkan sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan cara bertani
pada kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok masyarakat ini
mengembangkan cara produksi pertanian intensif (intensive agriculture), yang di
Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian lahan basah atau pertanian
persawahan. Sistem ini umum dikenal oleh kelompok masyarakat yang menghuni
Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di daerah-daerah tertentu di pulau-pulau yang ada
di gugusan sunda kecil (terutama di Bali, NTB).
Karena sistem pertanian ini mampu menhasilkan
surplus hasil yang cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah terintegrasi
ke dalam sistem sosio-ekonomi dan sosio-politik yang lebih besa dan lebih luas.
Bahkan hingga tingkat regional dan global. Keterikatan antar-anggota dalam
masyarakat-masyarakat yang bersangkutan tidak lagi hanya berdasarkan sistem
kekerabatan, melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosio-ekonomi yang
lebih folmalistis. Seperti organisasi dan asosiasi.
Keempat, adalah kelompok masyarakat
perkotaan. Masyarakat perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu
lingkungan pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar setempat. Biasanya
barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di daerah ‘pedalaman’
(pedesaan), yang biasa disebut sebagai daerah yang melindungi desa. Titik awal
gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan intelektual, pujangga,
agamawan, misalnya), atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan dan
non-agraris, sehingga pembagian kerja dalam masyarakat perkotaan ini sangat
kompleks.
Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan
sosiopolitiknya dalam suatu jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat
perkotaan ini juga disebut sebagai kelimpok elite ekonomi dan politik. Kelompok
ini pada dasarnya mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal
abad 20, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem
pendidikan sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang yang berlatar
belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk
Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya kemudian masuk ke dalam
sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau menjadi politisi pejuang
kemerdekaan.
B.
KERAGAMAN
DAN KESETARAAN SEBAGAI KEKAYAAN SOSIAL - BUDAYA
BANGSA
Kepulauan Nusantara ini terdiri atas
aneka warna kebudayaan dan bahasa, secara umum keragaman atas sosial-budaya
yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu:
struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan.
Keberagaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan
konsep integrasi nasional dengan rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina
= pecah, ika = itu, Tunggal = satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya
“terpecah itu satu”.
Tidak jarang kebhinekaan bangsa kita
sampai pada konflik tinggat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi
bangsa sebagai cita-cita bangsa. Sosial-budaya begitu kompleksnya menyangkut
berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat.
Keberagaman dan kesetaraan dalam
konteks kekayaan khazanah sosial-budaya bangsa salah satunya adalah dengan
mengembangkan atau merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga
keberagaman sosial-budaya dan kesetaraan sosial-budaya mampu mengemban fungsi
kebudayaan nasional, yaitu:
a. Suatu
sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara
Indonesia.
b. Suatu
sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara
Indonesia yang beragam (Bhineka) itu, untuk saling berkomunikasi dalam
kesetaraan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas sosial-budaya bangsa.
C.
PROBLEMATIKA
KERAGAMAN DAN KESETARAAN SERTA SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA
Berdirinya negara Indonesia
dilatarbelakangi oleh masyarakat yang majemuk, baik secara etnis, geografis,
kultural, maupun religius. Sifat pluralistik bangsa mendorong untuk memberi
tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang
dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan, kesatuan-kesatuan
nasional di Indonesia telah menunjukan kita bahwa suatu negara yang multientik
memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menginfestasikan peranan identitas
nasional dan solidaritas nasional di antara warga-warganya. Gagasan tentang
kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai
suatu bangsa telah dirancang saat bangsa kita belum merdeka.
Manusia secara kodrat diciptakan
sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik
secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang
seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan
yang menjunjung tinggi toleransi.
Di kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku
bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara, mewarisiperilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu
beriringan, saling melengkapi. Bahkan mampu untuk saling menyesuaikan
(fleksibel) dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan ketegangan hubungan antaranggota
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh sifat dasar yang selalu dimiliki oleh
masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh Van de Berghe:
a. Terjadinya
segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memilliki kebudayaan
yang berbeda.
b. Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer.
c. Kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d. Secara
relatif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yag satu dengan yang
lainnya.
e. Secara
relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi.
f. Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.
Realitas
diatas harus diakui degan sikap terbuka, logis, dan dewasa karena dengannya,
kemajemukan yang ada dapat di pertumpul. Jika keterbukaan dan kedewasaan sikap
dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta masalah-masalah yang menggoyahkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti :
1. Disharmonisasi,
adalah tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia
lingkungannya. Disharmonisasi dibawa oleh virus paradoks yang ada dalam
globalisasi. Paket globalisasi begitu memikat masyarakat dunia dengan
tawarannya akan keseragaman dlobal untuk maju bersama dalam komunikasi gaya
hidup manusia yang bebas dan harmonis dalam tatanan dunia, dengan menyampingkan
keunikan dan keberagaman manusia sebagai pelaku utamanya.
2. Perilaku
diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan
masalah yang lain, kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak
menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas
diri, alasannya dapat bermacam-macam, antara lain; keyakinannya bahwa secara
kodrati ras/sukunya kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain.
D. PROBLEMATIKA
DISKRIMINASI
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan
pembedaan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama,
suku, etnis, kelompok, golongan, status, dan kelas sosial-ekonomi, jenis
kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi, dan
politik. Serta batas Negara,dan kebangsaan seseorang.
Tuntutan
atas kesamaan hak bagi setiap manusia didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi
manusia (HAM). Sifat dari HAM adalah universal dan tanpa pengecualian, tidak
dapat dipisahkan, dan saling tergantung. Berangkat dari pemahaman tersebut
seyogianya sikap-sikap yang didasarkan pada ethnosentrisme, rasisme, religious
fanatisme, dan discrimination harus dipandang sebagai tindakan yang menghambat
pengembangan kesederajatan dan demokrasi, penegakan hukum dalam kerangka
pemajuan dan pemenuhan HAM.
Pasal
281 Ayat (2) UUD NKRI 1945 telah menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Sementara itu Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa
“... setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan
sederajat …” Ketentuan tersebut merupakan landasan hokum yang mendasari prinsip
non-diskriminasi di Indonesia.
Pencantuman
prinsip ini pada awal pasal dan berbagai instrumen hukum yang mengatur HAM pada
dasarnya menunjukkan bahwa diskriminasi telah menjadi sebuah realitas yang
problematik, sehingga:
a. Komunitas internasional telah mengakui bahwa
diskriminasi masih terjadi di berbagai belahan dunia; dan
b. Prinsip nondiskriminasi harus mengawali kesepakatan
antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan, keadilan, dan perdamaian
Pada
dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya
beberapa factor penyebab. Antara lain adalah:
1. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama ekonomi. Timbullah persaingan antara kelompok pendatang dan
kelompok pribumi, yang kerap kali menjadi jadwal pemicu terjadinya
diskriminasi.
2. Tekanan intimidasi biasanya dilakukan oleh kelompok
yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah. Aristoteles
membagi masyarakat dalam suatu Negara menjadi tiga kelompok: kaya, miskin, dan
yang berada di antaranya. Kelompok-kelompok kaya (bangsawan, tuan tanah)
biasanya melakukan intimidasi dan tekanan sehingga mendiskriminasi orang-orang
miskin.
3. Ketidakberdayaan golongan miskin akan intimidasi yang
mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
Disentigrasi
bangsa dan bubarnya negara terjadi karena adanya enam faktorutama yang secara
gradual bias menjadi penyebab utama proses itu, yaitu:
1. Kegagalan kepemimpinan.
Integrasi bangsa
adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara
amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara
memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa.
2. Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama.
Krisis di sektor
ini selalu merupakan amat signifikan
dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik pemerintahan, hokum, dan
sosial).
3. Krisis politik.
Krisis politik
merupakan perpecahan elite ditingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya
kebijaksanaan utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga dapat
dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas
sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Semua ini mengakibatkan
kepemimpinan nasional semakin efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi
pelayanan public akan semakin merosot.
4. Krisis social.
Krisis social dimulai
dari adanya disharmonisasi dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di
antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras).
5. Demoralisasi tentara dan polisi
Demoralisasi tentara
dan polisi dalam bentuk pupusanya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara. Demoralisasi itu, pada kadar
yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat
krisis ekonomi.
6. Intervensi asing.
Intervensi
internasional yang bertujuan memecah belah, seraya mengambil keuntungan dari
perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan
ekonomi negara-negara baru pasca disintegrasi. Intervensi itu bergerak dari
yang paling lunak hingga berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang
berkonflik.
Salah
satu hal yang dapat dijadikan solusi adalah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan
ungkapan yang menggambarkan masyarakat Indonesia yang “majemuk” atau
“heterogen”. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa
dengan beraneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, sejarah, dan tujuan
yang sama disebut kebudayaan nasional.
Terciptanya
“tunggal ika” dalam masyarakat yang “bhineka” dapat diwujudkan melalui
“integrasi kebudayaan” atau “integrasi nasional”. Dalam hubungan ini,
pengukuhan ide “tunggal ika” yang dirumuskan dalam wawasan nusantara dengan
menekankan pada aspek persatuan di segala bidang merupakan tindakan yang positif.
Namun tentu saja makna Bhineka Tunggal Ika ini harus benar-benar dipahami dan
menjadi sebuah pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
Saleum Rakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar