Senin, 17 Februari 2014

Kemajemukan Dalam Dinamika Sosial Dan Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

            Masyarkat majemuk seperti indonesia, bukan hanya secara horizontal beraneka ragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya, akan tetapi juga secara vertikal atau jenjang meurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politik yg terdapat didalamnya.

            Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luarbiasa tersebut.Indonesia sering dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme, dan multikulturalisme dapat dilangsungkan. Persentuhan keragaman budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama telah melahirkan berbagai keragaman konflik dan konsensus yang tanpa disadari oleh banyak orang indonesia, hal itu terjadi karena adanya golongan dominan dan minoritas yang seharusnya tidak perlu ada.

            Lemahnya pemahaman manusia sebagai makhluk sosial terhadap keragaman dan kesetaraan telah menciptakan kesenjangan. Untuk itu, berikut uraian mengenai manusia keragaman, dan kesetaraan dalam kehidupan sosial secara lebih spesifik.


B.    Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.    Abc
b.    Def
c.    Ghi





BAB II
MANUSIA, KERAGAMAN, DAN KESETARAAN


A.     KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA

            Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola, struktur mozaik sosial-budaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan. Pertama, dari aspek struktur kesukuan, keseluruhan struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian utama. Keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line) yang terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara pola Indonesia Barat dengan pola Indonesia Timur (Selanjutnya disingkat dengan PIB untuk yang pertama, dan PIT untuk yang disebut terakhir).

Pertama, dari 656 suku diseluruh Nusantara hanya ada seperenam (109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima perenam (547 suku). Dari jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlima (300-an suku) berdiam di Papua Barat. Karena itu,dapat disimpulkan bahwa keragaman suku di PIT jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.

Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura dan Bali, dari sembilan suku dominan di Indonesia ada di PIB dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu Bugis. Sementara suku-suku dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis. Suku-suku tersebut dikatakan domain berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya kerajaan dan masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3) menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam hampir semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang kebudayaan, intelektual, dan kenegaraan. (Tomagola,1990).

Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami satu provinsi secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti suku Minang dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecamatan saja dapat ditemukan lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20 suku, dan, besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari 40 suku.

Sementara dalam tinjauan Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa di Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata pencaharian yang dominan digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus dipengaruhi oleh suatu peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintah kolonial, kebijakan pemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam. Antara lain dapat dikelompokan pada masyarakat berburu, berladang, tani sawah, berkebun, pengembara dan seterusnya.

Berdasarkan tingkat perkembangan sistem teknologi, pengetahuan, pola-pola pengeksploitasian dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas ini, kelompok-kelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi ke dalam empat kategori utama, di mana satu sama lainnya memiliki tingkat daya adaptasi yang berbeda satu sama lainnya.


Pertama, adalah kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi, jumlah anggota kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang tergolong kepada tribal society ini biasanya hidup dalam persekutuan-persekutuan hidup yang beranggotakan lebih/kurang 50 jiwa saja. Masing-masing persekutuan hidup itu tidak terintegrasi ke dalam persekutuan (polotik) yang lebih luas. Pada umumnya bermata pencaharian berburu dan meramu (hunting and food gathering). Berkaitan dengan sistem pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini, biasanya, pola permukiman kelompok masyarakat ini bersifat nomadis (berpindah-pindah tempat), meski batas-batas wilayah pengembaraannya itu tetap dapat ditentukan secara pasti.

Sejauh yang dapat diketahui, kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan tribal society hanyalah sebagian dari orang kubu (Suku Anak Dalam) yang hidup di wilayah belantara jambi dan sumatera selatan. Konon juga terdapat di beberapa daerah pedalaman Irian Jaya, Kalimantan, dan Sulawesi (bagian Tengah).

Kedua, kelompok masyarakat perladangan berputar (rotary cultivation), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat yang mengembangkan sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Karena dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada unsur pekerjaan menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut sebagai slash dan burning cultivation. Karena kegiatan pertanian itu tidak diselenggarakan secara terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka kegiatan pertanian ini sering pula dikategorikan sebagai suatu cara produksi pertanian ekstensif (extensive agriculture).

Kelompok masyarakat yang terdapat di dalamnya merupakan kelompok masyarakat yang dapat bercocok tanam untuk menghasilkan bahan makanan pokoknya (food producing) sendiri. Sebagian besar kelompok masyarakat ini berada di luar Jawa, dengan sedikit pengecualian di beberapa tempat tertentu saja, seperti masyarakat badui, misalnya. Komposisi demografis kelompok masyarakat ini berjumlah lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pertama. Bisa mencapai angka ribuan jiwa. Meski begitu, keterikatan aanggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih menekankan pada sistem kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum sepenuhnya terintegrasi pada sistem sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan sistem sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks.

Ketiga, kelompok masyarakat petani (pesant society). Kelompok masyarakat ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan cara bertani pada kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok masyarakat ini mengembangkan cara produksi pertanian intensif (intensive agriculture), yang di Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian lahan basah atau pertanian persawahan. Sistem ini umum dikenal oleh kelompok masyarakat yang menghuni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di daerah-daerah tertentu di pulau-pulau yang ada di gugusan sunda kecil (terutama di Bali, NTB).

Karena sistem pertanian ini mampu menhasilkan surplus hasil yang cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah terintegrasi ke dalam sistem sosio-ekonomi dan sosio-politik yang lebih besa dan lebih luas. Bahkan hingga tingkat regional dan global. Keterikatan antar-anggota dalam masyarakat-masyarakat yang bersangkutan tidak lagi hanya berdasarkan sistem kekerabatan, melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosio-ekonomi yang lebih folmalistis. Seperti organisasi dan asosiasi.

Keempat, adalah kelompok masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar setempat. Biasanya barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di daerah ‘pedalaman’ (pedesaan), yang biasa disebut sebagai daerah yang melindungi desa. Titik awal gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan intelektual, pujangga, agamawan, misalnya), atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan dan non-agraris, sehingga pembagian kerja dalam masyarakat perkotaan ini sangat kompleks.

Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan sosiopolitiknya dalam suatu jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat perkotaan ini juga disebut sebagai kelimpok elite ekonomi dan politik. Kelompok ini pada dasarnya mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal abad 20, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang yang berlatar belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya kemudian masuk ke dalam sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau menjadi politisi pejuang kemerdekaan.


B.    KERAGAMAN DAN KESETARAAN SEBAGAI KEKAYAAN SOSIAL - BUDAYA    BANGSA

            Kepulauan Nusantara ini terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa, secara umum keragaman atas sosial-budaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan. Keberagaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina = pecah, ika = itu, Tunggal = satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.

            Tidak jarang kebhinekaan bangsa kita sampai pada konflik tinggat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi bangsa sebagai cita-cita bangsa. Sosial-budaya begitu kompleksnya menyangkut berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat.

            Keberagaman dan kesetaraan dalam konteks kekayaan khazanah sosial-budaya bangsa salah satunya adalah dengan mengembangkan atau merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga keberagaman sosial-budaya dan kesetaraan sosial-budaya mampu mengemban fungsi kebudayaan nasional, yaitu:
a.     Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia.
b.     Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang beragam (Bhineka) itu, untuk saling berkomunikasi dalam kesetaraan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas sosial-budaya bangsa.


C.    PROBLEMATIKA KERAGAMAN DAN KESETARAAN SERTA SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA

            Berdirinya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh masyarakat yang majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius. Sifat pluralistik bangsa mendorong untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan, kesatuan-kesatuan nasional di Indonesia telah menunjukan kita bahwa suatu negara yang multientik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menginfestasikan peranan identitas nasional dan solidaritas nasional di antara warga-warganya. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai suatu bangsa telah dirancang saat bangsa kita belum merdeka.

            Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi.

Di kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisiperilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi. Bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan ketegangan hubungan antaranggota masyarakat. Hal ini disebabkan oleh sifat dasar yang selalu dimiliki oleh masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh Van de Berghe:
a.   Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memilliki kebudayaan yang berbeda.
b.     Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
c. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d.     Secara relatif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yag satu dengan yang lainnya.
e.     Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f.       Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.

Realitas diatas harus diakui degan sikap terbuka, logis, dan dewasa karena dengannya, kemajemukan yang ada dapat di pertumpul. Jika keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta masalah-masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti :
1.     Disharmonisasi, adalah tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia lingkungannya. Disharmonisasi dibawa oleh virus paradoks yang ada dalam globalisasi. Paket globalisasi begitu memikat masyarakat dunia dengan tawarannya akan keseragaman dlobal untuk maju bersama dalam komunikasi gaya hidup manusia yang bebas dan harmonis dalam tatanan dunia, dengan menyampingkan keunikan dan keberagaman manusia sebagai pelaku utamanya.
2.     Perilaku diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan masalah yang lain, kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.     Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya dapat bermacam-macam, antara lain; keyakinannya bahwa secara kodrati ras/sukunya kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain.


D.    PROBLEMATIKA DISKRIMINASI

            Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, dan kelas sosial-ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi, dan politik. Serta batas Negara,dan kebangsaan seseorang.

            Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sifat dari HAM adalah universal dan tanpa pengecualian, tidak dapat dipisahkan, dan saling tergantung. Berangkat dari pemahaman tersebut seyogianya sikap-sikap yang didasarkan pada ethnosentrisme, rasisme, religious fanatisme, dan discrimination harus dipandang sebagai tindakan yang menghambat pengembangan kesederajatan dan demokrasi, penegakan hukum dalam kerangka pemajuan dan pemenuhan HAM.

            Pasal 281 Ayat (2) UUD NKRI 1945 telah menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sementara itu Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa “... setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat …” Ketentuan tersebut merupakan landasan hokum yang mendasari prinsip non-diskriminasi di Indonesia.

            Pencantuman prinsip ini pada awal pasal dan berbagai instrumen hukum yang mengatur HAM pada dasarnya menunjukkan bahwa diskriminasi telah menjadi sebuah realitas yang problematik, sehingga:
a.     Komunitas internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih terjadi di berbagai belahan dunia; dan
b.     Prinsip nondiskriminasi harus mengawali kesepakatan antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan, keadilan, dan perdamaian

Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa factor penyebab. Antara lain adalah:
1.     Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan, terutama ekonomi. Timbullah persaingan antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi, yang kerap kali menjadi jadwal pemicu terjadinya diskriminasi.
2.     Tekanan intimidasi biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah. Aristoteles membagi masyarakat dalam suatu Negara menjadi tiga kelompok: kaya, miskin, dan yang berada di antaranya. Kelompok-kelompok kaya (bangsawan, tuan tanah) biasanya melakukan intimidasi dan tekanan sehingga mendiskriminasi orang-orang miskin.
3.     Ketidakberdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.

Disentigrasi bangsa dan bubarnya negara terjadi karena adanya enam faktorutama yang secara gradual bias menjadi penyebab utama proses itu, yaitu:
1.     Kegagalan kepemimpinan.
Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa.
2.     Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama.
Krisis di sektor ini  selalu merupakan amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik pemerintahan, hokum, dan sosial).
3.     Krisis politik.
Krisis politik merupakan perpecahan elite ditingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijaksanaan utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga dapat dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Semua ini mengakibatkan kepemimpinan nasional semakin efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan public akan semakin merosot.
4.     Krisis social.
Krisis social dimulai dari adanya disharmonisasi dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras).
5.     Demoralisasi tentara dan polisi
Demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusanya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
6.     Intervensi asing.
Intervensi internasional yang bertujuan memecah belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pasca disintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak hingga berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik.

            Salah satu hal yang dapat dijadikan solusi adalah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan ungkapan yang menggambarkan masyarakat Indonesia yang “majemuk” atau “heterogen”. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil  interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan beraneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, sejarah, dan tujuan yang sama disebut kebudayaan nasional.


            Terciptanya “tunggal ika” dalam masyarakat yang “bhineka” dapat diwujudkan melalui “integrasi kebudayaan” atau “integrasi nasional”. Dalam hubungan ini, pengukuhan ide “tunggal ika” yang dirumuskan dalam wawasan nusantara dengan menekankan pada aspek persatuan di segala bidang merupakan tindakan yang positif. Namun tentu saja makna Bhineka Tunggal Ika ini harus benar-benar dipahami dan menjadi sebuah pedoman dalam berbangsa dan bernegara.








Saleum Rakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar