Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Keluarga
Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid,
Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid
adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau
berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda,
ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut,
pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan
ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang
ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Keturunan
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut
Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu
- Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
- Tuanku Budiman, dan
- Tuanku Nurdin.
Perlawanan terhadap Belanda
Tokoh anti-Belanda
Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk
tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini
di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905",
bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh
yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut
Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian
diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam
kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Berperang bersama putera-puteranya
Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah
kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap
berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan
sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut
Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara
ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi
terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap
Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.
Tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee
Pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee
tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse,
Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku
Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan
Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan
Peningkatan intensitas patroli Belanda juga
menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan
Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih
sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami
luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus,
terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang.
Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat
banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan,
luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak
Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama,
ia menjadi pincang selama hidupnya.
Dimasukkan ke dalam penjara
Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama
seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja.
Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin
para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905,
Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa
Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin
pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin
tidak melakukan hal tersebut.
Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut
Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan
yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat
Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah
Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa
Tengah dan dimakamkan di sana.
Pocut Meurah Intan: Kartini lain sebelum Kartin
Raut wajah wanita cantik itu terlihat garang. Air
mukanya memendam dendam dan angkara murka. Tegas dia meminta kepada tuan qadhi
untuk mem-fasakh [memutuskan] ikatan perkawinannya dengan tuanku Abdul Madjid,
yang telah menyerah kepada kompeni Belanda. Sirna sudah rasa cinta yang
menumpuk di dada, lenyap sudah rasa hormat terhadap sang suami yang selama ini
begitu dia sanjung dan puja. Yang telah bersama-sama berjuang mempertahankan
tanah tumpah darah dari jajahan kompeni Belanda. Berang dan kecewa rasa hatinya
tak terkira, menyaksikan sang suami takluk dan bertekuk lutut pada penjajah
kafe [kafir] Ulanda [sebutan untuk Belanda dalam bahasa Aceh]. Usai sudah
perkawinannya, dan secara psikologis, kini dirinya hanya bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri dan bebas untuk menentukan langkah kehidupannya. Tak
harus tunduk apalagi patuh pada seorang pengkhianat negeri.
Satu pesan ayahandanya yang begitu melekat di hatinya
adalah, bahwa seorang muslim WAJIB berjuang mempertahankan negeri dan agamanya
dari tindasan penjajah, hingga ke tetes darah penghabisan. JANGAN PERNAH
MENYERAH, JANGAN PERNAH TAKUT. Dan itulah yang akan diteruskannya, walau tak
lagi ada teman setia [sang suami] yang menjadi mitra. Perang
ini harus dilanjutkan, Islam harus ditegakkan dan kemerdekaan negeri ini harus
tetap dipertahankan. Maka bersama ketiga putranya, dibantu seorang
kepercayaan [tangan kanannya] bernama Pang Mahmud, wanita perkasa itu
melanjutkan perjuangan.
Pocut Meurah Intan, begitu wanita ini dikenal, memang bukan wanita
biasa. Darah biru yang mengalir kental di dalam tubuhnya adalah titisan sang
ayah, Teuku Meurah Intan, seorang hulubalang negeri Biheue [suatu
daerah yang terletak antara Sigli dan Padang Tiji], yang telah menanamkan
nilai-nilai agamis dan kecintaan terhadap tanah air pada putri jelitanya, Pocut
Meurah Intan, yang lahir pada tahun 1873, di desa Lam Padang, mukim VI,
Laweung, Pidie.
Patahnya semangat dan takluknya sang mantan suami
pada Belanda, adalah pemicu meningkatnya kebencian dirinya terhadap kafe
Ulanda. Apalagi saat itu situasi perang Aceh, memang sedang memasuki
masa-masa sulit, masa-masa kritis yang terkadang mampu melemahkan jiwa.
Terlebih dengan mangkatnya Sultan Alaidin Mahmud Syah dalam perang 'kuman'
dan digantikan oleh Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang masih berusia
10 tahun, sehingga pemerintahan harian terpaksa didelegasikan kepada tuanku
Hasyim Banta Muda.
Peperangan semakin dasyat, kekuatan Belanda
semakin berlipat akibat didatangkannya tambahan pasukan Belanda dari Betawi
[Jakarta]. Ibukota pemerintahan Aceh terpaksa ditarik ke Indrapuri, yang
selanjutnya pindah ke Keumala Dalam. Keadaan semakin memanas dan para pejuang
Aceh terpaksa melakukan berbagai manuver, mengubah perang frontal menjadi
perang gerilya raksasa di seluruh Aceh, baik di daerah pesisir, pedalaman dan
terutama di basis-basis pegunungan. Pertempuran terjadi hampir setiap saat, dan
menimbulkan kerugian yang tidak terhitung jumlahnya, baik dalam segi materi
maupun jiwa, dari kedua belah pihak.
Bersama para pengikutnya, didukung penuh oleh tiga
putra tercinta yang gagah berani, yaitu tuanku Budiman, tuanku Muhammad dan
tuanku Nurdin, serta Pang Mahmud sang tangan kanan, Pocut memimpin perjuangan
untuk daerah Laweung dan Batee [Kabupaten Pidie sekarang]. Dalam bukunya
berjudul Aceh, Zentgraaff menulis, bahwa wanita-wanita Aceh sangat gagah berani. Dikisahkan
tentang suatu kejadian ketika pasukan Belanda mengepung sebuah kampung di
Pidie, seorang suami tertembak dan rubuh dalam dekapan istrinya. Menyadari
bahwa sang suami dalam dekapannya telah tak bernyawa, si wanita lalu mengambil
rencong suaminya dan menyerbu brigade dan menyerang mereka, namun seorang
marsose berhasil memukul tangannya hingga puntung. Bukannya menyerah, si wanita
dengan tangan kirinya malah memungut rencong yang berlumuran darah itu dan
kembali menyerang hingga dia sendiri tewas tertembus peluru marsose.
Kisah lain tentang keberanian para srikandi Aceh ini
juga dituangkan Zengraaff dalam bukunya sebagai berikut ;
sepasukan Belanda telah mengetahui bahwa ada
sekelompok pejuang yang bersembunyi di sebuah rumah di Tangse. Lalu pasukan
Belanda hendak menggerebek namun seorang wanita, istri si pemilik rumah dengan
gagah berani menghadang marsose yang sedang menaiki tangga. Dengan lantang dia
berseru, melarang para marsose memasuki rumahnya. Tentu saja marsose marah dan
membentaknya, namun dengan lebih keras, dia balas membentak para kafe Ulanda,
melarang mereka menginjakkan kaki dirumahnya. Tentu saja sikap ini semakin
membuat para marsose naik pitam, dan memukul kaki wanita ini dengan popor
senjatanya, hingga si wanita terjatuh. Barulah dia bergeser dan para marsose
menyerbu ke dalam rumah. Adu mulut dalam tenggang waktu beberapa menit tadi
tentu memberi kesempatan bagi para pejuang yang bersembunyi di dalam rumah
untuk lari menyelamatkan diri, alhasil, para marsose pulang dengan tangan
kosong.
Kisah lain yang tak kalah heroik adalah ketika
Geldorp dan tiga pasukannya menyergap tempat persembunyian para pejuang yang
terdiri dari 4 orang laki-laki beserta istri-istri mereka. Pertempuran yang tak
berimbang itu menyebabkan para lelaki mati syahid dan menyisakan para wanita.
Yang mengejutkan adalah, tindakan para wanita yang hendak mereka sandera itu
sungguh diluar dugaan. Dengan sigap mereka mengambil senjata-senjata milik
suami mereka dan mulai mengadakan perlawanan, menyerang pasukan marsose dengan
membabi buta hingga ke empatnya mati syahid, menyusul sang suami.
Keberanian dan semangat baja nan pantang menyerah
dalam diri Pocut dan pasukannya, mau tak mau membuat pasukan Belanda semakin
kesulitan dalam menaklukkan daerah ini. Semakin digencet semakin liat. Pocut
dan pasukannya semakin gencar melakukan aksinya, beberapa peperangan tak terhindarkan
pun terjadi di Biheu, Laweung, Lam panah dan Lam Teuba. Belanda semakin gusar
dan marah, hingga semakin gencar melakukan serangan-serangan untuk menghentikan
aksi yang dipimpin Pocut. Belanda mulai mencatat bahwa Pocut tak dapat
diremehkan. Wanita ini sungguh bernyali besar, cerdas dan tidak boleh dipandang
sebelah mata. Wanita ini sungguh berbahaya dan harus diantisipasi dengan
cermat, atau malah segera dibasmi sepak terjangnya.
Maka berbagai upaya pun dilakukan oleh pasukan
Belanda untuk menghentikan sepak terjang Pocut dan pasukannya, hingga suatu
hari, tepatnya pada awal November 1902, ketika pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Mayjen T. J Veltman sedang melakukan patroli di daerah basis gerilya,
yaitu di daerah Laweung, Biheu, mereka menemukan seorang wanita yang dari
tatapannya terlihat jelas memendam kebencian terhadap mereka. Pemeriksaan
terhadap wanita ini pun dilakukan. Namun kala anggota pasukan mendekatinya, dan
hendak memeriksanya, wanita ini diluar dugaan mencabut rencong yang terselip
dibalik pakaiannya dan dengan segala upaya, menyerang mereka sembari berteriak
penuh amarah.
"Kalo begitu, biarlah aku mati syahid!" Dan
pertempuran 1 lawan 18 orang anggota Marsose itu pun pecah.
Pocut masih berdiri tangguh kala serdadu serdadu itu
menebas senjata. Wanita itu masih berdiri kokoh seraya menghunus rencong kala
pedang marsose menebas dan meninggalkan dua luka di kepalanya, serta dua luka
di bahunya. Ia baru terjatuh ketika pedang tajam itu menghunus ke otot tumitnya
hingga putus. Terjatuh, rubuh, di atas tanah yang masih basah oleh sisa hujan.
Dengan dada yang berlubang, luka membujur di sekujur tubuh dan banyak
kehilangan darah, bahkan salah satu urat di keningnya terputus! Terbaring di
atas tanah berlumur lumpur dan darah, hingga salah seorang anggota marsose yang
tak tega menyaksikan penderitaan Pocut, memohon ijin kepada Veltman agar
diijinkan mengakhiri penderitaan Pocut dengan menembakkan peluru ke tubuhnya
agar tewas.
Tentu saja Veltman tak menyetujui, dan memerintahkan
pasukannya untuk berlalu, dan membiarkan Pocut terbaring untuk ditemukan oleh
warga desa dan diberikan pertolongan. Di lubuk hatinya, Veltman dan pasukannya
menyimpan rasa hormat dan takjub akan keberanian para wanita Aceh yang begitu
heroik dan gagah berani. Suatu hal yang sangat jarang mereka saksikan di dunia
ini, yang mungkin tidak akan ada pada wanita bangsa mereka sendiri.
Pocut ditemukan dan dirawat oleh para penduduk, dan
walau masih dalam masa kritisnya, tetap bertekad untuk lanjutkan perjuangan.
Tak hanya itu, Pocut juga telah menyusun rencana untuk menghabisi si
pengkhianat negeri, musuh dalam selimut, yaitu penduduk desa yang telah menjadi
mata-mata Belanda.
Sementara itu, Veltman yang kemudian mengetahui bahwa
wanita yang bentrok dengan pasukannya itu adalah seorang pemimpin gerilya,
berusaha mencari tau keberadaannya, dan hatinya sungguh terenyuh kala
menyaksikan Pocut terbaring lemah, tak berdaya dengan kain kusam yang membalut
luka-luka di tubuhnya. Yang lebih membuatnya terenyuh adalah, penduduk desa
menggunakan kotoran sapi sebagai antibiotik alami demi menyembuhkan luka-luka
Pocut. Sungguh mengiris hati, apalagi melihat wanita pemberani itu menggigil
dan mengerang penuh kesakitan.
Terketuk hatinya, pemimpin pasukan Belanda yang fasih
berbahasa Aceh ini berupaya keras membujuk Pocut agar bersedia diobati oleh
dokter Belanda. Pocut menolak keras, tak sudi tubuhnya disentuh/diobati oleh
tangan-tangan para kafe Ulanda. Namun akhirnya berkat bujukan Veltman, Pocut
menyerah dan bersedia untuk diobati. Proses penyembuhan memakan waktu yang lama
dan akhirnya walau pun sembuh, Pocut mengalami cacat fisik [pincang] pada
kakinya.
Mendengar keberanian Pocut melawan pasukan Veltman
seorang diri hanya dengan sebilah rencong, Komandan militer Scheuer memutuskan
untuk mengunjungi dan bertemu Pocut, yang tentu saja didampingi oleh Veltman,
yang juga bertindak sebagai penerjemah. Komandan Scheuer menaruh hormat kepada
Pocut, tanpa dibuat-buat, murni dari lubuk hatinya. Setulus hati dia meminta
Veltman untuk menyampaikan kepada Pocut, bahwa dirinya sangat kagum pada Pocut.
Sikapnya ini memancing rasa apresiasi dari Pocut, membuat wanita itu mengangguk
dan tersenyum padanya. Namun itu tak berarti bahwa Pocut akan menghentikan
peperangan dalam rangka mempertahankan negerinya... Perang akan berlanjut dan
para kafe Ulanda harus angkat kaki dari tanah rencong ini!
Perjuangan memang terus berlanjut, bumi Aceh terus
bergolak karena para gerilyawan terus beraksi. Pocut masih belum sembuh total
dan tetap dalam pengawasan Belanda. Perjuangan dilanjutkan oleh ketiga putranya
serta Pang Mahmud yang setia. Sayangnya, pada bulan Februari 1900, Tuanku
Muhammad Batee tertangkap, dan karena dianggap sangat berbahaya bagi keamanan
penjajahan Belanda, maka pada tanggal 19 April 1900 beliau diasingkan ke
Tondano, Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25
pasar 47 R.R. Sementara dua putra Pocut yang lainnya diasingkan ke tanah Jawa.
Ketika sembuh dari sakitnya, Pocut masih melanjutkan
perjuangan bahkan masih mampu memimpin pasukan, walau akhirnya berhasil
ditangkap dan dijadikan tahanan Belanda, dan bersama putranya tuanku Budiman
dimasukkan ke penjara Belanda, Kutaraja. Dalam waktu yang sama, tuanku Nurdin
tetap melanjutkan perjuangan dan memimpin para pejuang di kawasan Laweung dan
Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap tuanku Nurdin
di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Sebelumnya Belanda terlebih
dahulu menangkap istri dari tuanku Nurdin sebagai taktik untuk membuat tuanku
Nurdin menyerah, namun ternyata taktik ini tidak membawa hasil.
Kemudian, pada 6 Mei 1905, Pocut beserta kedua
putranya yaitu tuanku Nurdin dan tuanku Budiman serta seorang saudaranya,
tuanku Ibrahim diasingkan ke tanah Jawa, tepatnya di Blora, Jawa Tengah, berdasarkan
Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905, No. 24. . Dan
sejak itu, perjuangan Pocut dan putra-putranya tak lagi menemukan kesempatan
untuk berlanjut. Ketiganya hidup dalam pengasingan, dan kemudian Pocut Meurah
Intan menghembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1937, di pengasingan.
Jauh dari tanah rencong, tanah tumpah darahnya tercinta.
Makamnya terletak di desa Temurejo, Blora, Jawa
Tengah, dan pernah ada rencana dari Pemerintah Aceh untuk memindahkan makam
Pocut ke tanah kelahirannya, namun amanah Pocut yang disampaikan pada salah
seorang sahabatnya di Blora, yaitu RM Ngabehi Dono Muhammad, bahwa Pocut lebih
senang bersemayam di Blora membuat rencana ini tak jadi dilanjutkan.
Saleum Rakan
RANUP ATJEH
Saleum Rakan
RANUP ATJEH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar