Rabu, 26 Februari 2014

Pocut Meurah Intan


Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.

Keluarga

Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.

Keturunan

Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu
  1. Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
  2. Tuanku Budiman, dan
  3. Tuanku Nurdin.

Perlawanan terhadap Belanda

Tokoh anti-Belanda

Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Berperang bersama putera-puteranya

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.

Tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee

Pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.

Tertangkapnya Pocut Meurah Intan

Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.

Dimasukkan ke dalam penjara

Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.

Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.

Pocut Meurah Intan: Kartini lain sebelum Kartin

Raut wajah wanita cantik itu terlihat garang. Air mukanya memendam dendam dan angkara murka. Tegas dia meminta kepada tuan qadhi untuk mem-fasakh [memutuskan] ikatan perkawinannya dengan tuanku Abdul Madjid, yang telah menyerah kepada kompeni Belanda. Sirna sudah rasa cinta yang menumpuk di dada, lenyap sudah rasa hormat terhadap sang suami yang selama ini begitu dia sanjung dan puja. Yang telah bersama-sama berjuang mempertahankan tanah tumpah darah dari jajahan kompeni Belanda. Berang dan kecewa rasa hatinya tak terkira, menyaksikan sang suami takluk dan bertekuk lutut pada penjajah kafe [kafir] Ulanda [sebutan untuk Belanda dalam bahasa Aceh]. Usai sudah perkawinannya, dan secara psikologis, kini dirinya hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan bebas untuk menentukan langkah kehidupannya. Tak harus tunduk apalagi patuh pada seorang pengkhianat negeri.

Satu pesan ayahandanya yang begitu melekat di hatinya adalah, bahwa seorang muslim WAJIB berjuang mempertahankan negeri dan agamanya dari tindasan penjajah, hingga ke tetes darah penghabisan. JANGAN PERNAH MENYERAH, JANGAN PERNAH TAKUT. Dan itulah yang akan diteruskannya, walau tak lagi ada teman setia [sang suami] yang menjadi mitra. Perang ini harus dilanjutkan, Islam harus ditegakkan dan kemerdekaan negeri ini harus tetap dipertahankan. Maka bersama ketiga putranya, dibantu seorang kepercayaan [tangan kanannya] bernama Pang Mahmud, wanita perkasa itu melanjutkan perjuangan.

Pocut Meurah Intan, begitu wanita ini dikenal, memang bukan wanita biasa. Darah biru yang mengalir kental di dalam tubuhnya adalah titisan sang ayah, Teuku Meurah Intan,  seorang hulubalang negeri Biheue [suatu daerah yang terletak antara Sigli dan Padang Tiji], yang telah menanamkan nilai-nilai agamis dan kecintaan terhadap tanah air pada putri jelitanya, Pocut Meurah Intan, yang lahir pada tahun 1873, di desa Lam Padang, mukim VI, Laweung, Pidie.

Patahnya semangat dan takluknya sang mantan suami pada Belanda, adalah pemicu meningkatnya kebencian dirinya terhadap kafe Ulanda. Apalagi saat itu situasi  perang Aceh, memang sedang memasuki masa-masa sulit, masa-masa kritis yang terkadang mampu melemahkan jiwa. Terlebih dengan mangkatnya Sultan Alaidin Mahmud Syah dalam perang 'kuman' dan digantikan oleh Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang masih berusia 10 tahun, sehingga pemerintahan harian terpaksa didelegasikan kepada tuanku Hasyim Banta Muda.

Peperangan  semakin dasyat, kekuatan Belanda semakin berlipat akibat didatangkannya tambahan pasukan Belanda dari Betawi [Jakarta]. Ibukota pemerintahan Aceh terpaksa ditarik ke Indrapuri, yang selanjutnya pindah ke Keumala Dalam. Keadaan semakin memanas dan para pejuang Aceh terpaksa melakukan berbagai manuver, mengubah perang frontal menjadi perang gerilya raksasa di seluruh Aceh, baik di daerah pesisir, pedalaman dan terutama di basis-basis pegunungan. Pertempuran terjadi hampir setiap saat, dan menimbulkan kerugian yang tidak terhitung jumlahnya, baik dalam segi materi maupun jiwa, dari kedua belah pihak.

Bersama para pengikutnya, didukung penuh oleh tiga putra tercinta yang gagah berani, yaitu tuanku Budiman, tuanku Muhammad dan tuanku Nurdin, serta Pang Mahmud sang tangan kanan, Pocut memimpin perjuangan untuk daerah Laweung dan Batee [Kabupaten Pidie sekarang]. Dalam bukunya berjudul Aceh, Zentgraaff menulis, bahwa wanita-wanita Aceh sangat gagah berani. Dikisahkan tentang suatu kejadian ketika pasukan Belanda mengepung sebuah kampung di Pidie, seorang suami tertembak dan rubuh dalam dekapan istrinya. Menyadari bahwa sang suami dalam dekapannya telah tak bernyawa, si wanita lalu mengambil rencong suaminya dan menyerbu brigade dan menyerang mereka, namun seorang marsose berhasil memukul tangannya hingga puntung. Bukannya menyerah, si wanita dengan tangan kirinya malah memungut rencong yang berlumuran darah itu dan kembali menyerang hingga dia sendiri tewas tertembus peluru marsose.

Kisah lain tentang keberanian para srikandi Aceh ini juga dituangkan Zengraaff dalam bukunya sebagai berikut ;
sepasukan Belanda telah mengetahui bahwa ada sekelompok pejuang yang bersembunyi di sebuah rumah di Tangse. Lalu pasukan Belanda hendak menggerebek namun seorang wanita, istri si pemilik rumah dengan gagah berani menghadang marsose yang sedang menaiki tangga. Dengan lantang dia berseru, melarang para marsose memasuki rumahnya. Tentu saja marsose marah dan membentaknya, namun dengan lebih keras, dia balas membentak para kafe Ulanda, melarang mereka menginjakkan kaki dirumahnya. Tentu saja sikap ini semakin membuat para marsose naik pitam, dan memukul kaki wanita ini dengan popor senjatanya, hingga si wanita terjatuh. Barulah dia bergeser dan para marsose menyerbu ke dalam rumah. Adu mulut dalam tenggang waktu beberapa menit tadi tentu memberi kesempatan bagi para pejuang yang bersembunyi di dalam rumah untuk lari menyelamatkan diri, alhasil, para marsose pulang dengan tangan kosong.

Kisah lain yang tak kalah heroik adalah ketika Geldorp dan tiga pasukannya menyergap tempat persembunyian para pejuang yang terdiri dari 4 orang laki-laki beserta istri-istri mereka. Pertempuran yang tak berimbang itu menyebabkan para lelaki mati syahid dan menyisakan para wanita. Yang mengejutkan adalah, tindakan para wanita yang hendak mereka sandera itu sungguh diluar dugaan. Dengan sigap mereka mengambil senjata-senjata milik suami mereka dan mulai mengadakan perlawanan, menyerang pasukan marsose dengan membabi buta hingga ke empatnya mati syahid, menyusul sang suami.

Keberanian dan semangat baja nan pantang menyerah dalam diri Pocut dan pasukannya, mau tak mau membuat pasukan Belanda semakin kesulitan dalam menaklukkan daerah ini. Semakin digencet semakin liat. Pocut dan pasukannya semakin gencar melakukan aksinya, beberapa peperangan tak terhindarkan pun terjadi di Biheu, Laweung, Lam panah dan Lam Teuba. Belanda semakin gusar dan marah, hingga semakin gencar melakukan serangan-serangan untuk menghentikan aksi yang dipimpin Pocut. Belanda mulai mencatat bahwa Pocut tak dapat diremehkan. Wanita ini sungguh bernyali besar, cerdas dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Wanita ini sungguh berbahaya dan harus diantisipasi dengan cermat, atau malah segera dibasmi sepak terjangnya.

Maka berbagai upaya pun dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menghentikan sepak terjang Pocut dan pasukannya, hingga suatu hari, tepatnya pada awal November 1902, ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayjen T. J Veltman sedang melakukan patroli di daerah basis gerilya, yaitu di daerah Laweung, Biheu, mereka menemukan seorang wanita yang dari tatapannya terlihat jelas memendam kebencian terhadap mereka. Pemeriksaan terhadap wanita ini pun dilakukan. Namun kala anggota pasukan mendekatinya, dan hendak memeriksanya, wanita ini diluar dugaan mencabut rencong yang terselip dibalik pakaiannya dan dengan segala upaya, menyerang mereka sembari berteriak penuh amarah.

"Kalo begitu, biarlah aku mati syahid!" Dan pertempuran 1 lawan 18 orang anggota Marsose itu pun pecah.

Pocut masih berdiri tangguh kala serdadu serdadu itu menebas senjata. Wanita itu masih berdiri kokoh seraya menghunus rencong kala pedang marsose menebas dan meninggalkan dua luka di kepalanya, serta dua luka di bahunya. Ia baru terjatuh ketika pedang tajam itu menghunus ke otot tumitnya hingga putus. Terjatuh, rubuh, di atas tanah yang masih basah oleh sisa hujan. Dengan dada yang berlubang, luka membujur di sekujur tubuh dan banyak kehilangan darah, bahkan salah satu urat di keningnya terputus! Terbaring di atas tanah berlumur lumpur dan darah, hingga salah seorang anggota marsose yang tak tega menyaksikan penderitaan Pocut, memohon ijin kepada Veltman agar diijinkan mengakhiri penderitaan Pocut dengan menembakkan peluru ke tubuhnya agar tewas.

Tentu saja Veltman tak menyetujui, dan memerintahkan pasukannya untuk berlalu, dan membiarkan Pocut terbaring untuk ditemukan oleh warga desa dan diberikan pertolongan. Di lubuk hatinya, Veltman dan pasukannya menyimpan rasa hormat dan takjub akan keberanian para wanita Aceh yang begitu heroik dan gagah berani. Suatu hal yang sangat jarang mereka saksikan di dunia ini, yang mungkin tidak akan ada pada wanita bangsa mereka sendiri.

Pocut ditemukan dan dirawat oleh para penduduk, dan walau masih dalam masa kritisnya, tetap bertekad untuk lanjutkan perjuangan. Tak hanya itu, Pocut juga telah menyusun rencana untuk menghabisi si pengkhianat negeri, musuh dalam selimut, yaitu penduduk desa yang telah menjadi mata-mata Belanda.

Sementara itu, Veltman yang kemudian mengetahui bahwa wanita yang bentrok dengan pasukannya itu adalah seorang pemimpin gerilya, berusaha mencari tau keberadaannya, dan hatinya sungguh terenyuh kala menyaksikan Pocut terbaring lemah, tak berdaya dengan kain kusam yang membalut luka-luka di tubuhnya. Yang lebih membuatnya terenyuh adalah, penduduk desa menggunakan kotoran sapi sebagai antibiotik alami demi menyembuhkan luka-luka Pocut. Sungguh mengiris hati, apalagi melihat wanita pemberani itu menggigil dan mengerang penuh kesakitan.

Terketuk hatinya, pemimpin pasukan Belanda yang fasih berbahasa Aceh ini berupaya keras membujuk Pocut agar bersedia diobati oleh dokter Belanda. Pocut menolak keras, tak sudi tubuhnya disentuh/diobati oleh tangan-tangan para kafe Ulanda. Namun akhirnya berkat bujukan Veltman, Pocut menyerah dan bersedia untuk diobati. Proses penyembuhan memakan waktu yang lama dan akhirnya walau pun sembuh, Pocut mengalami cacat fisik [pincang] pada kakinya.

Mendengar keberanian Pocut melawan pasukan Veltman seorang diri hanya dengan sebilah rencong, Komandan militer Scheuer memutuskan untuk mengunjungi dan bertemu Pocut, yang tentu saja didampingi oleh Veltman, yang juga bertindak sebagai penerjemah. Komandan Scheuer menaruh hormat kepada Pocut, tanpa dibuat-buat, murni dari lubuk hatinya. Setulus hati dia meminta Veltman untuk menyampaikan kepada Pocut, bahwa dirinya sangat kagum pada Pocut. Sikapnya ini memancing rasa apresiasi dari Pocut, membuat wanita itu mengangguk dan tersenyum padanya. Namun itu tak berarti bahwa Pocut akan menghentikan peperangan dalam rangka mempertahankan negerinya... Perang akan berlanjut dan para kafe Ulanda harus angkat kaki dari tanah rencong ini!

Perjuangan memang terus berlanjut, bumi Aceh terus bergolak karena para gerilyawan terus beraksi. Pocut masih belum sembuh total dan tetap dalam pengawasan Belanda. Perjuangan dilanjutkan oleh ketiga putranya serta Pang Mahmud yang setia. Sayangnya, pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap, dan karena dianggap sangat berbahaya bagi keamanan penjajahan Belanda, maka pada tanggal 19 April 1900 beliau diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25 pasar 47 R.R. Sementara dua putra Pocut yang lainnya diasingkan ke tanah Jawa.

Ketika sembuh dari sakitnya, Pocut masih melanjutkan perjuangan bahkan masih mampu memimpin pasukan, walau akhirnya berhasil ditangkap dan dijadikan tahanan Belanda, dan bersama putranya tuanku Budiman dimasukkan ke penjara Belanda, Kutaraja. Dalam waktu yang sama, tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan dan memimpin para pejuang di kawasan Laweung dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Sebelumnya Belanda terlebih dahulu menangkap istri dari tuanku Nurdin sebagai taktik untuk membuat tuanku Nurdin menyerah, namun ternyata taktik ini tidak membawa hasil.

Kemudian, pada 6 Mei 1905, Pocut beserta kedua putranya yaitu tuanku Nurdin dan tuanku Budiman serta seorang saudaranya, tuanku Ibrahim diasingkan ke tanah Jawa, tepatnya di Blora, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905, No. 24. . Dan sejak itu, perjuangan Pocut dan putra-putranya tak lagi menemukan kesempatan untuk berlanjut. Ketiganya hidup dalam pengasingan, dan kemudian Pocut Meurah Intan menghembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1937, di pengasingan. Jauh dari tanah rencong, tanah tumpah darahnya tercinta.

Makamnya terletak di desa Temurejo, Blora, Jawa Tengah, dan pernah ada rencana dari Pemerintah Aceh untuk memindahkan makam Pocut ke tanah kelahirannya, namun amanah Pocut yang disampaikan pada salah seorang sahabatnya di Blora, yaitu RM Ngabehi Dono Muhammad, bahwa Pocut lebih senang bersemayam di Blora membuat rencana ini tak jadi dilanjutkan.



Saleum Rakan
RANUP ATJEH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar