Rabu, 26 Februari 2014

Kisah Waliyullah Aceh, Abu Ibrahim Woyla

Almarhum (Waliyullah) Aceh, Abu Ibrahim Woyla

Keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosook Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah)

Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Karamah (Keramat). Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla. 

Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Pantai barat selatan Aceh.

Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun. Sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru padanya, Abuya Muda Waly adalah sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh.

Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 3 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale dan Abu Hasballah Indrapuri. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho di Padang Panjang. beberapa tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemudian Syeikh Muda Waly kembali kepadang dan pulang ke Aceh Selatan untuk mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. 

Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Dayah, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.

Setelah lebih kurang 3 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.

Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya.
Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.

Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla.
Almarhum Abu Ibrahim Woyla


Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.

Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya yang beliau nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal tidak dikaruniai anak.

Menurut cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil, sehingga beliau mengatakan pada isterinya “Saya mau belah perut kamu untuk melihat anak kita”, kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang pada saat itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti itu dianggap perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga dengan cemas menggatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim Woyla yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6 bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya.

Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi pasangan suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi kembali mengembara entah kemana. Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.

Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah kemana. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya.

Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik berzikit sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi, keinginan Ummii Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah mempersatukan Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.


Kisah Keajaiban dan Aneh

Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf. Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.

Alm. Abu Ibrahim Woyla berkunjung ke sebuah tempat.

Itulah keajaiban - keajaiban yang melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla.

Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat - tempat dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat - tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.

Dalam hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam (seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilawatinya, ia mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berzikir LA ILAHA ILLALLAH yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu.


Tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A’lam.

Menurut Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.

Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir sambil berjalan.

Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.

karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat.


Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang.


Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.

Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya.


Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.

Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin bertanya, “Kenapa dengan kaki Abu ?” Abu menjawab “saya baru pulang dari bukit Qaf (Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi”, Abu meneruskan “setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya, karena saya takut duduk dalam kereta api itu , maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh”.

Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang isteri pada suaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.

Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan anaknya. Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.

Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun.
Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawa kepada syirik).

(Dinukil majalah Santri Dayah | santridayah.com)




Saleum Rakan

Ratu Nahrasiyah, Keagungan Seorang Ratu


Ratu Nahrasiyah merupakan salah satu ratu ternama di Kerajaan Samudera Pasai. Kegungannya tampak pada makamnya yang dibuat dari pualam penuh ukiran kaligrafi.


Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” mengungkapkan bahwa Ratu Nahrasiyah merupakan seorang ratu yang menjadi pusat perhatian para ahli sejarah untuk menulisnya. Tak terkecuali Dr Cristian Snouck Hourgronje dari Belanda.


Ketika awal awal diangkat menjadi guru besar di Rijks Universiteit Leiden, dan dikukuhkan pada 23 Januari 1907, Snouck sangat tertarik untuk meneliti tentang kuburan Ratu Nahrasiyah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai. Dalam buku “Arabie en Oost Indie,” 1907, Snouck menulis tentang Ratu Nahrasiyah yang dimakamkan di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai yang makamnya terbuat dari pualam, yang merupakan makam ratu Islam yang terindah di Asia Tenggara, yang dihiasi dengan ukiran kaligrafi.


Menurut Snouck makan Ratu Nahrasiyah merupakan duplikat dari makam Umar ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga dipakai pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.

Melihat bentuk makamnya yang indah dan istimewa, bisa dipastikan kalau Ratu Nahrasiyah merupakan raja perempuan terbesar pada zamannya. Pada nisannya terdapat nukilan-nukilan huruf Arab yang berisi informasi tentang makam tersebut: Ibrahim Alfian menjelaskan, ukiran berbahasa Arab itu bila diterjemahkan dalam bahasa Melayu bermakna;

“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrasiyah...putri Sultan Zain al-Abidin putera Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Sulthan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia dengan rahmat Allah pada hari Senin 17 Zulhijah 832.”

J. P. Moquete dalam “De Grafsteenen te Pase en Grisse verge leken met dergelijke mo menten uit Hindoestan” memperkirakan tanggal dan tahun hijriah yang tertera di makam itu bertepatan dengan 27 September 1428 masehi.

Menurut Ibrahim Alfian, kebiasaan raja-raja Pasai selalu mengeluarkan mata uang emas yang disebut deureuham atau dirham, namun dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literatur numismatik mata uang emas kerajaan kerajaan Islam di Aceh.

Mengenai hal itu Ibrahim Alfian menjelaskan hal itu karena Ratu Nahrasiyah setelah suaminya syahid, dengan suami yang kedua sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Suaminya, Salahuddin tidak memakai gelar Malik az-Zahir pada sisi depan mata uang emasnya karena ia bukan keturunan dinasti Malik az-Zahir. Hanya pada sisi belakang dirhamnya tercantum kata “As Sulthan Al Adil” sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham Salahuddin beratnya 0,60 gram dengan diameter 10 mm dengan mutu emas 17 karat.

Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sulthan Zainal Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang tertulis, “As Sulthan Al Adil”.

Dirham milik Sulthan Zainal Abidin berdiameter 13 mm dengan berat 0,06 gram dengan mutu emas 18 karat. Dalam literatur Tiongkok seperti kronik Dinasti Ming (1368-1643), nama Sulthan Zainal Abidin dikenal dengan sebutan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.

Dicatat dalam Ying-yai Sheng-lan Ibrahim Alfian menjelaskan, berdasarkan kronik Dinasti Ming buku 32 diungkapkan, Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirimkan utusan-utusannya ditemani seorang penerjemah (sida-sida) Cina bernama Yin Ching ketika menghadap raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) dan membawakan upeti. Maharaja Cina kemudian mengeluarkan dekrit dan mengangkatnya sebagai raja Sumatera. Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirim upeti setiap tahun kepada Ch’engtsu selama maharaja itu masih hidup.

Selain jejak sejaran berupa nisan, keterangan tentang Ratu Nahrasiyah juga terdapat dalam buku sejarah Cina, “Ying-yai Sheng-lan” yang berisi tentang laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Ma Huan seorang pelawat Cina muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.

Di dalam Ying-yai Sheng-lan diceritakan bahwa Raja Samudera diserang oleh Raja Nakur, dan dalam pertempuran itu, Raja Samudera tewas terkena panah beracun. Permaisurinya menyatakan sumpah di depan rakyatnya bahwa siapa yang dapat menuntut balas atas kematian suaminya, ia akan menikahinya dan bersedia pula untuk memerintah kerajaan Samudera bersama-sama.

Muncullah sosok yang telah berumur, seorang Panglima Laot, pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk mengurus perikanan menyatakan kesanggupannya untuk mengemban amanah itu. Makan berangkatlah ia memimpin bala tentara Samudera untuk berperang melawan Raja Nakur. Dalam peperangan itu, pasukan Raja Nakur berhasil dikalahkan, menyerah dan mengundurkan diri, serta berjanji tidak akan melakukan permusuhan terhadap Kerajaan Samudera. Ratu, sebagaimana seharusnya seorang pemimpin, menepati janjinya dan menikah dengan Panglima Laot.

Pada tahun 1409 M, karena sadar akan kewibawaanya, suami sang ratu itu mengantar upeti kepada raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) yang terdiri dari berbagai hasil bumi negerinya dan diterima dengan senang hati oleh raja Cina. Dalam tahun 1412 ia kembali ke Samudera, putra raja terdahulu yang telah beranjak dewasa secara rahasia bersekutu dengan para bangsawan dan berhasil membunuh ayah tirinya seta mengambil alih tampuk kerajaan.

Suami kedua ratu itu yang mempunyai kemenakan Su-Kan-Lah (Sekandar, Iskandar). Ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya beserta keluarga-keluarga mereka, lalu menarik diri ke daerah pegunungan. Di sana ia mendirikan benteng pertahanan dan kemudian melakukan serangan-serangan ke Samudera untuk menuntut balas atas kematian pamannya, Sulthan Salahuddin.

Pada tahun 1415 M Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh sebagian besar penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau Sumatera.

Sekandar kemudian tertangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana maharaja Cina. Di sana Sekandar dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tak lain adalah Ratu Nahrasiyah, putri Sulthan Zainal Abidin.

Nisan dengan Surat Yasin
Pada makan Ratu Nahrasiyah terukir surat Yasin dengan kaligrafi yang indah bersama ayat kursi yang termaktub dalam surat Al Baqarah. Selain itu terdapat juga petikan dari kitab suci Alquran antara lain ayat 18 dan 19 surat Ali Imran. H B Jasin dalam buku “Bacaan Mulia” terbitan Jembatan, Jakarta, 1991 menterjemahkan kedua ayat itu :

Allah menyatakan
Tiada Tuhan selain Ia
Yang berdiri di atas keadilan
Demikian pula malaikat
Dan orang berilmu [menyatakan demikian]
Tiada Tuhan selain Ia
Yang maha perkasa
Yang maha bijaksana

Sunguh,
Agama pada Allah ialah Islam
Dan tiada berselisih orang
Yang diberii Alkitab
Kecuali sesudah beroleh ilmu
Karena kedengkian antara sesama
Dan, barang siapa ingkar ayat-ayat Allah
Sungguh, Allah cepat dalam perhitungan

Ayat 285 dan 286 dalam surat Albaqarah juga turut dipahat pada makam Ratu Nahrasiyah. Kedua ayat itu ditafsirkan bermakna :

Rasul beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.
[demikian pula] orang-orang yang beriman
Masing-masin [mereka] beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulnya.
“Kami tiada membedakan Rasul-rasul-Nya yang satu dari yang lain,” [kata mereka]
Dan mereka berkata [pula]
“Kami mendengar dan kami taat, berilah kami ampun, Tuhan kami,
Jangan hukum kami, kepadamulah kami kembali.”

Allah tiada membebani seseorang,
Kecuali menurut kemampuannya.
Ia mendengar [pahala] dari [kebaikan] yang dilakukannya
Dan mendapat [azab] dari [kejahatan] yang dilakukannya
[Berdoalah] “Tuhan kami jangan hukum kami, jika kami lupa atau melakukan kekeliruan.

Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan beban [yang berat]
Seperi yang Kau bebankan atas orang sebelum kami.
Ampunilah kami dan rahmatilah kami
Kaulah pelindung kami
Maka tolonglah kami melawan kaum kafir.”

Makam Ratu Nahrasiyah tampak begitu penting bagi rakyatnya, sehingga dibangun dengan sangat indah. Makan itu dibuat begitu monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya sebagai seorang ratu. Terhadap kebesaran dan keagungan Ratu Nahrasiyah itu, di akhir tulisannya Ibrahim Alfian menulis:

“Kita yang sekarang hidup di lingkungan yang jauh lebih sekuler mungkin tak lagi begitu memahami dan menghayati arti makam. Akan tetapi, kitapun selalu merasakan dan menyaksikan bahwa selalu ada yang kurang dalam hidup. Para wisatawan yang berasal dari negara-negara makmur berkelana ke wilayah-wilayah yang lebih jauh dari tempat asalnya untuk sesuatu yang terasa kurang itu. Dan makan Ratu Nahrasiyah yang begitu agung dan indah ini mungkin salah satu yang dicari mereka dan mungkin pula kita semua.”





Saleum Rakan
RANUP ATJEH

Pocut Meurah Intan


Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.

Keluarga

Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.

Keturunan

Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu
  1. Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
  2. Tuanku Budiman, dan
  3. Tuanku Nurdin.

Perlawanan terhadap Belanda

Tokoh anti-Belanda

Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Berperang bersama putera-puteranya

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.

Tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee

Pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.

Tertangkapnya Pocut Meurah Intan

Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.

Dimasukkan ke dalam penjara

Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.

Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.

Pocut Meurah Intan: Kartini lain sebelum Kartin

Raut wajah wanita cantik itu terlihat garang. Air mukanya memendam dendam dan angkara murka. Tegas dia meminta kepada tuan qadhi untuk mem-fasakh [memutuskan] ikatan perkawinannya dengan tuanku Abdul Madjid, yang telah menyerah kepada kompeni Belanda. Sirna sudah rasa cinta yang menumpuk di dada, lenyap sudah rasa hormat terhadap sang suami yang selama ini begitu dia sanjung dan puja. Yang telah bersama-sama berjuang mempertahankan tanah tumpah darah dari jajahan kompeni Belanda. Berang dan kecewa rasa hatinya tak terkira, menyaksikan sang suami takluk dan bertekuk lutut pada penjajah kafe [kafir] Ulanda [sebutan untuk Belanda dalam bahasa Aceh]. Usai sudah perkawinannya, dan secara psikologis, kini dirinya hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan bebas untuk menentukan langkah kehidupannya. Tak harus tunduk apalagi patuh pada seorang pengkhianat negeri.

Satu pesan ayahandanya yang begitu melekat di hatinya adalah, bahwa seorang muslim WAJIB berjuang mempertahankan negeri dan agamanya dari tindasan penjajah, hingga ke tetes darah penghabisan. JANGAN PERNAH MENYERAH, JANGAN PERNAH TAKUT. Dan itulah yang akan diteruskannya, walau tak lagi ada teman setia [sang suami] yang menjadi mitra. Perang ini harus dilanjutkan, Islam harus ditegakkan dan kemerdekaan negeri ini harus tetap dipertahankan. Maka bersama ketiga putranya, dibantu seorang kepercayaan [tangan kanannya] bernama Pang Mahmud, wanita perkasa itu melanjutkan perjuangan.

Pocut Meurah Intan, begitu wanita ini dikenal, memang bukan wanita biasa. Darah biru yang mengalir kental di dalam tubuhnya adalah titisan sang ayah, Teuku Meurah Intan,  seorang hulubalang negeri Biheue [suatu daerah yang terletak antara Sigli dan Padang Tiji], yang telah menanamkan nilai-nilai agamis dan kecintaan terhadap tanah air pada putri jelitanya, Pocut Meurah Intan, yang lahir pada tahun 1873, di desa Lam Padang, mukim VI, Laweung, Pidie.

Patahnya semangat dan takluknya sang mantan suami pada Belanda, adalah pemicu meningkatnya kebencian dirinya terhadap kafe Ulanda. Apalagi saat itu situasi  perang Aceh, memang sedang memasuki masa-masa sulit, masa-masa kritis yang terkadang mampu melemahkan jiwa. Terlebih dengan mangkatnya Sultan Alaidin Mahmud Syah dalam perang 'kuman' dan digantikan oleh Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang masih berusia 10 tahun, sehingga pemerintahan harian terpaksa didelegasikan kepada tuanku Hasyim Banta Muda.

Peperangan  semakin dasyat, kekuatan Belanda semakin berlipat akibat didatangkannya tambahan pasukan Belanda dari Betawi [Jakarta]. Ibukota pemerintahan Aceh terpaksa ditarik ke Indrapuri, yang selanjutnya pindah ke Keumala Dalam. Keadaan semakin memanas dan para pejuang Aceh terpaksa melakukan berbagai manuver, mengubah perang frontal menjadi perang gerilya raksasa di seluruh Aceh, baik di daerah pesisir, pedalaman dan terutama di basis-basis pegunungan. Pertempuran terjadi hampir setiap saat, dan menimbulkan kerugian yang tidak terhitung jumlahnya, baik dalam segi materi maupun jiwa, dari kedua belah pihak.

Bersama para pengikutnya, didukung penuh oleh tiga putra tercinta yang gagah berani, yaitu tuanku Budiman, tuanku Muhammad dan tuanku Nurdin, serta Pang Mahmud sang tangan kanan, Pocut memimpin perjuangan untuk daerah Laweung dan Batee [Kabupaten Pidie sekarang]. Dalam bukunya berjudul Aceh, Zentgraaff menulis, bahwa wanita-wanita Aceh sangat gagah berani. Dikisahkan tentang suatu kejadian ketika pasukan Belanda mengepung sebuah kampung di Pidie, seorang suami tertembak dan rubuh dalam dekapan istrinya. Menyadari bahwa sang suami dalam dekapannya telah tak bernyawa, si wanita lalu mengambil rencong suaminya dan menyerbu brigade dan menyerang mereka, namun seorang marsose berhasil memukul tangannya hingga puntung. Bukannya menyerah, si wanita dengan tangan kirinya malah memungut rencong yang berlumuran darah itu dan kembali menyerang hingga dia sendiri tewas tertembus peluru marsose.

Kisah lain tentang keberanian para srikandi Aceh ini juga dituangkan Zengraaff dalam bukunya sebagai berikut ;
sepasukan Belanda telah mengetahui bahwa ada sekelompok pejuang yang bersembunyi di sebuah rumah di Tangse. Lalu pasukan Belanda hendak menggerebek namun seorang wanita, istri si pemilik rumah dengan gagah berani menghadang marsose yang sedang menaiki tangga. Dengan lantang dia berseru, melarang para marsose memasuki rumahnya. Tentu saja marsose marah dan membentaknya, namun dengan lebih keras, dia balas membentak para kafe Ulanda, melarang mereka menginjakkan kaki dirumahnya. Tentu saja sikap ini semakin membuat para marsose naik pitam, dan memukul kaki wanita ini dengan popor senjatanya, hingga si wanita terjatuh. Barulah dia bergeser dan para marsose menyerbu ke dalam rumah. Adu mulut dalam tenggang waktu beberapa menit tadi tentu memberi kesempatan bagi para pejuang yang bersembunyi di dalam rumah untuk lari menyelamatkan diri, alhasil, para marsose pulang dengan tangan kosong.

Kisah lain yang tak kalah heroik adalah ketika Geldorp dan tiga pasukannya menyergap tempat persembunyian para pejuang yang terdiri dari 4 orang laki-laki beserta istri-istri mereka. Pertempuran yang tak berimbang itu menyebabkan para lelaki mati syahid dan menyisakan para wanita. Yang mengejutkan adalah, tindakan para wanita yang hendak mereka sandera itu sungguh diluar dugaan. Dengan sigap mereka mengambil senjata-senjata milik suami mereka dan mulai mengadakan perlawanan, menyerang pasukan marsose dengan membabi buta hingga ke empatnya mati syahid, menyusul sang suami.

Keberanian dan semangat baja nan pantang menyerah dalam diri Pocut dan pasukannya, mau tak mau membuat pasukan Belanda semakin kesulitan dalam menaklukkan daerah ini. Semakin digencet semakin liat. Pocut dan pasukannya semakin gencar melakukan aksinya, beberapa peperangan tak terhindarkan pun terjadi di Biheu, Laweung, Lam panah dan Lam Teuba. Belanda semakin gusar dan marah, hingga semakin gencar melakukan serangan-serangan untuk menghentikan aksi yang dipimpin Pocut. Belanda mulai mencatat bahwa Pocut tak dapat diremehkan. Wanita ini sungguh bernyali besar, cerdas dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Wanita ini sungguh berbahaya dan harus diantisipasi dengan cermat, atau malah segera dibasmi sepak terjangnya.

Maka berbagai upaya pun dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menghentikan sepak terjang Pocut dan pasukannya, hingga suatu hari, tepatnya pada awal November 1902, ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayjen T. J Veltman sedang melakukan patroli di daerah basis gerilya, yaitu di daerah Laweung, Biheu, mereka menemukan seorang wanita yang dari tatapannya terlihat jelas memendam kebencian terhadap mereka. Pemeriksaan terhadap wanita ini pun dilakukan. Namun kala anggota pasukan mendekatinya, dan hendak memeriksanya, wanita ini diluar dugaan mencabut rencong yang terselip dibalik pakaiannya dan dengan segala upaya, menyerang mereka sembari berteriak penuh amarah.

"Kalo begitu, biarlah aku mati syahid!" Dan pertempuran 1 lawan 18 orang anggota Marsose itu pun pecah.

Pocut masih berdiri tangguh kala serdadu serdadu itu menebas senjata. Wanita itu masih berdiri kokoh seraya menghunus rencong kala pedang marsose menebas dan meninggalkan dua luka di kepalanya, serta dua luka di bahunya. Ia baru terjatuh ketika pedang tajam itu menghunus ke otot tumitnya hingga putus. Terjatuh, rubuh, di atas tanah yang masih basah oleh sisa hujan. Dengan dada yang berlubang, luka membujur di sekujur tubuh dan banyak kehilangan darah, bahkan salah satu urat di keningnya terputus! Terbaring di atas tanah berlumur lumpur dan darah, hingga salah seorang anggota marsose yang tak tega menyaksikan penderitaan Pocut, memohon ijin kepada Veltman agar diijinkan mengakhiri penderitaan Pocut dengan menembakkan peluru ke tubuhnya agar tewas.

Tentu saja Veltman tak menyetujui, dan memerintahkan pasukannya untuk berlalu, dan membiarkan Pocut terbaring untuk ditemukan oleh warga desa dan diberikan pertolongan. Di lubuk hatinya, Veltman dan pasukannya menyimpan rasa hormat dan takjub akan keberanian para wanita Aceh yang begitu heroik dan gagah berani. Suatu hal yang sangat jarang mereka saksikan di dunia ini, yang mungkin tidak akan ada pada wanita bangsa mereka sendiri.

Pocut ditemukan dan dirawat oleh para penduduk, dan walau masih dalam masa kritisnya, tetap bertekad untuk lanjutkan perjuangan. Tak hanya itu, Pocut juga telah menyusun rencana untuk menghabisi si pengkhianat negeri, musuh dalam selimut, yaitu penduduk desa yang telah menjadi mata-mata Belanda.

Sementara itu, Veltman yang kemudian mengetahui bahwa wanita yang bentrok dengan pasukannya itu adalah seorang pemimpin gerilya, berusaha mencari tau keberadaannya, dan hatinya sungguh terenyuh kala menyaksikan Pocut terbaring lemah, tak berdaya dengan kain kusam yang membalut luka-luka di tubuhnya. Yang lebih membuatnya terenyuh adalah, penduduk desa menggunakan kotoran sapi sebagai antibiotik alami demi menyembuhkan luka-luka Pocut. Sungguh mengiris hati, apalagi melihat wanita pemberani itu menggigil dan mengerang penuh kesakitan.

Terketuk hatinya, pemimpin pasukan Belanda yang fasih berbahasa Aceh ini berupaya keras membujuk Pocut agar bersedia diobati oleh dokter Belanda. Pocut menolak keras, tak sudi tubuhnya disentuh/diobati oleh tangan-tangan para kafe Ulanda. Namun akhirnya berkat bujukan Veltman, Pocut menyerah dan bersedia untuk diobati. Proses penyembuhan memakan waktu yang lama dan akhirnya walau pun sembuh, Pocut mengalami cacat fisik [pincang] pada kakinya.

Mendengar keberanian Pocut melawan pasukan Veltman seorang diri hanya dengan sebilah rencong, Komandan militer Scheuer memutuskan untuk mengunjungi dan bertemu Pocut, yang tentu saja didampingi oleh Veltman, yang juga bertindak sebagai penerjemah. Komandan Scheuer menaruh hormat kepada Pocut, tanpa dibuat-buat, murni dari lubuk hatinya. Setulus hati dia meminta Veltman untuk menyampaikan kepada Pocut, bahwa dirinya sangat kagum pada Pocut. Sikapnya ini memancing rasa apresiasi dari Pocut, membuat wanita itu mengangguk dan tersenyum padanya. Namun itu tak berarti bahwa Pocut akan menghentikan peperangan dalam rangka mempertahankan negerinya... Perang akan berlanjut dan para kafe Ulanda harus angkat kaki dari tanah rencong ini!

Perjuangan memang terus berlanjut, bumi Aceh terus bergolak karena para gerilyawan terus beraksi. Pocut masih belum sembuh total dan tetap dalam pengawasan Belanda. Perjuangan dilanjutkan oleh ketiga putranya serta Pang Mahmud yang setia. Sayangnya, pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap, dan karena dianggap sangat berbahaya bagi keamanan penjajahan Belanda, maka pada tanggal 19 April 1900 beliau diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25 pasar 47 R.R. Sementara dua putra Pocut yang lainnya diasingkan ke tanah Jawa.

Ketika sembuh dari sakitnya, Pocut masih melanjutkan perjuangan bahkan masih mampu memimpin pasukan, walau akhirnya berhasil ditangkap dan dijadikan tahanan Belanda, dan bersama putranya tuanku Budiman dimasukkan ke penjara Belanda, Kutaraja. Dalam waktu yang sama, tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan dan memimpin para pejuang di kawasan Laweung dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Sebelumnya Belanda terlebih dahulu menangkap istri dari tuanku Nurdin sebagai taktik untuk membuat tuanku Nurdin menyerah, namun ternyata taktik ini tidak membawa hasil.

Kemudian, pada 6 Mei 1905, Pocut beserta kedua putranya yaitu tuanku Nurdin dan tuanku Budiman serta seorang saudaranya, tuanku Ibrahim diasingkan ke tanah Jawa, tepatnya di Blora, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905, No. 24. . Dan sejak itu, perjuangan Pocut dan putra-putranya tak lagi menemukan kesempatan untuk berlanjut. Ketiganya hidup dalam pengasingan, dan kemudian Pocut Meurah Intan menghembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1937, di pengasingan. Jauh dari tanah rencong, tanah tumpah darahnya tercinta.

Makamnya terletak di desa Temurejo, Blora, Jawa Tengah, dan pernah ada rencana dari Pemerintah Aceh untuk memindahkan makam Pocut ke tanah kelahirannya, namun amanah Pocut yang disampaikan pada salah seorang sahabatnya di Blora, yaitu RM Ngabehi Dono Muhammad, bahwa Pocut lebih senang bersemayam di Blora membuat rencana ini tak jadi dilanjutkan.



Saleum Rakan
RANUP ATJEH

Sejarah Putroe Phang


Pada abad ke-17 Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengalami masa keemasan dan termasuk salah satu kekuatan adi daya di dunia khususnya di kawasan Selat Malaka.


Di balik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada orang perempuan di balik layar. Bagi Sultan Iskandar Muda, perempuan di balik layar itu adalah permaisurinya yang bernama Puteri Pahang yang dalam bahasa Aceh lebih dikenal dengan sebutan Putroe Phang.

Perkenalan Sultan Iskandar dengan Puteri Pahang ini berawal ketika Aceh Darussalam berhasil menaklukkan Pahang. Bersamaan dengan itu, keluarga istana Pahang bersama sekitar 10.000 penduduknya berimigrasi ke Aceh untuk memperkuat pasukan Sultan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda rupanya tertarik dengan seorang puteri dan Pahang yang bernama Puteri Kamaliah. Puteri Kamaliah kemudian dinikahi Sultan Iskandar Muda dan diangkat menjadi permaisurinya. Karena Puteri Kamaliah berasal dan Pahang, rakyat Aceh memanggilnya dengan Putroe Phang.

Puteri Kamaliah masyhur karena cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan yang dihadapi masyarakat Aceh Darussalam. Pada suatu hari, terdapat kasus pembagian harta waris dengan dua ahli waris yakni seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Adapun harta yang menjadi objek pembagian adalah berupa sawah dan rumah. Diputuskan bahwa anak perempuan mendapatkan sawah sedangkan anak laki-lakinya mendapat rumah.

Anak perempuan tersebut tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan banding. Mendengar kasus tersebut, Putroe Phang langsung meresponnya dan membela perempuan tersebut dengan argumen bahwa wanita tidak mempunyai rumah dan tidak dapat tinggal di meunasa (mushola) sedangkan anak laki-laki dapat tinggal di musola. Oleh karena itu, yang layak menerima rumah adalah wanita sedangkan yang layak menerima sawah adalah anak laki-laki. Argumen Putroe Phang itu kemudian disetujui oleh Sultan Iskandar Muda.

Sejak itu, Puteri Kamaliah yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Putroe Phang itu menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum.

Kerja sama Sultan Iskandar Muda yang gagah, berani, dan adil dengan Permaisuri Putroe Phang yang bijaksana dan selalu membela rakyat yang lemah terutama wanita dan kaum papah mengantarkan kejayaan Aceh menuju masa keemasan.

Di samping Permaisuri Putroe Phang yang berkontribusi bagi pembangunan Aceh Darussalam, terdapat pula beberapa lembaga pemerintahan. Secara struktural, Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin eksekutif tertinggi yang dibantu beberapa pejabat tinggi. Mereka adalah Qadhi Malikul Adil dengan empat orang mufti di bawahnya, Menteri Dirham (keuangan), Baitul Mal yang dibawahnya ada Balai Furdhan (bea cukai).

Di samping lembaga eksekutif terdapat pula lembaga musyawarah yang terdiri atas :
1)           Balairung Sari, terdiri atas empat anggota hulubalang
2)           Balal Gading, terdiri atas 22 ulama
3)           Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Parlemen), terdiri atas 73 anggota yang mewakili setiap mukim (daerah), Aceh Darussalam dibagi atas 73 mukim.

Balai Sari dan Balai Gading masih merupakan rumpun lembaga eksekutif sedangkan Balai Majelis Mahkamah Rakyat masuk dalam rumpun lembaga legislatif.

Lembaga-lembaga ini secara resmi dibentuk pada tanggal 12 Rabiul Awal 1042 (1633) dan ditulis dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Qanun Al-Asyi Darussalam.

Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi seorang puteri yang bernama Puteri Sari Alam yang menikah dengan Sultan Iskandar Tsani dan setelah suaminya itu meninggal Puteri Sari Alam naik tahta menjadi Sultanah dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

Sultan lskandar Tsani juga dikenal dengan Raja Mughal. Ia adalah putera dan Raja Ahmad Syah Pahang. yang termasuk keluarga Pahang yang dibawa Sultan Iskandar Muda ke Aceh. Nama asli Puteri Pahang adalah Puteri Jamilah (ada yang menyebut “Kamaliah”) yang juga terkenal dengan nama Putroe Phang. Menurut satu riwayat. perkawinan Puteri Pahang dengan Sultan Iskandar Muda berlangsung setelah melalui peristiwa yang sangat luar biasa.

Pada suatu hari Sultan Pahang bersama Permaisurinya yang bernama Puteri Jamaliah (Putroe Phang) menghadap Sultan Iskandar Muda dan dalam pertemuan itu Sultan Pahang yang bernama Raja Abdullah (Raja Raden) menyatakan mengetahui niat suci Iskandar Muda menaklukan kerajaannya demi memperjuangkan agama dan menyingkirkan kawasan Melayu dan imperialis Barat dan untuk itu rela menceraikan istrinya untuk dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Setelah mendapatkan persetujuan dan keluarga permaisuri Puteri Sendi Ratna Indra (permaisuri pertama). Sultan Iskandar Muda bercerai dengan Puteri Sendi Ratna Indra. Setelah masing-masing istri menyelesaikan masa iddahnya, Sultan Iskandar menikah dengan Puteri Jamaliah dan Raja Abdullah menikah dengan Puteri Sendi Ratna lndra.

Bukti cinta Sultan Iskandar Muda terhadap Putroe Phang adalah bangunan Gunongan. Bangunan ini dibangun untuk membuktikan cintanya kepada Putroe Phang.

Putroe Phang sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan penyusunan undang-undang kerajaan sampai-sampai lahir semboyan :

Adat bak Poeu Meureuhom
Hukum bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Bentara

Artinya :
Adat dari Marhum Mahkota Alam
Hukum dan Syiah Kuala
Qanun dan Puteri Pahang
Resam dan Bentara (‘uleebalang)
Adat meukoh reubung
Hukum Meukoh purih
Adatjeutabarangho taking
Hukum hanjuet barangho takih

Artinya :
Adat dapat dipotong seperti memotong rebung
Hukum seperti memotong sagak (hujung buluh keras)
Hukum tak dapat diatur dengan semena-mena
(melainkan wajib didasarkan Quran dan Hadis)

Ketika Putri Phang mangkat, upacaranya dilakukan dengan megah dan khidmat. Kain jendela dan tirai Istana Keraton Darud Dunia diganti dengan kain warna hitam. Upacara pelepasan dilaksanakan dengan khidmat seperti dilukiskan oleh Muhammad Junus Djamil sebagai berikut :

“Ketika jenazah diturunkan dan Istana, Sultan Iskandar Muda turun di depan, didampingi dua bentara keraton yang berpakaian serba hitam berselempang merah. Yang di sebelah kanan memegang pedang terhunus bersandar di bahu kanannya dan yang disebelah kirinya memegang payung hitam terbuka yang disebut Payoong panyang-go. Di Mideuen (halaman istana) telah siap segenap barisan dan setelah berhenti sejenak tampil ke muka bentara Keujruen Tandil Keraton Darud Dunia (Tandil Mujahid Chik Seri Dewa Purba) untuk mengucap berita duka dan memohon doa selamat kepada Allah SWT serta selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keranda jenazah yang berhias serba indah dengan hiasan keemasan dan permata diletakkan di atas tandu keemasan yang berbentuk segitiga. Masing-masing ujung segitiga dipikul oleh tiga pembesar dan tiga dewan negara, yaitu dewan Mong-mong Angkatan Laut, Angkatan Darat. Didepan sekali berdiri Ketua Dewan Mufti empat (Khuja Madinah) yang lebih terkenal dengan Khuja Pakeh yang berpakaian serba putih (sorban dan jubah) dengan tongkat di tangan kanannya. Di belakangnya diikuti dua pembesar negara Perdana Menteri Seri Ratna Bijaya Sang Raja Meukuta Dilamcaya yang bernama Orang Kaya Seri Maharaja Laila dan Qodli Malikul Adil, keduanya memegang jambangan air mawar yang dibuat dari emas berhias permata. Di belakang mereka, dua orang Bentara yang membawa jambangan teurapan-geutanggi yang mengeluarkan asap dari pembakaran ramuan-ramuan setanggi yang harum semerbak baunya.

Di sebelah kanan keranda (peti jenazah) berdiri Laksamana Meurah Ganti yang berpakaian serba hitam, berselimpang merah serta pedang yang terhunus bersandar di bahunya. Di sebelah kiri berdiri Bentara Tandil (Datuk Bendahara Muhammad Tun Sari Lanang) yang mengembangkan payung kuning keemasan yang berumbai mutiara ke atas keranda dan beliau juga berpakaian hitam dan teungkulook leumbayung di kepalanya, serta berselempang merah. Di bagian belakang jenazah (diantara dua cabang tandu) berdiri Seri Sultan Iskandar Muda yang diikuti di belakangnya sebelah kanan oleh Putera Mahkota (Poteu Cut) dan di belakang sebelah kiri adalah menantu beliau, Pangeran Husain Mughayat Syah bin Sultan Ahmad Perak. Di belakangnya barulah barisan menteri-menteri dan raja-raja serta iringan yang berjumlah ratusan mengikuti di belakang mereka.

Setelah selesai ucapan berita duka barisan bergerak menuju Masjid Raya Baiturrahman dan setelah selesai upacara shalat jenazah, jenazah kembali ke Kraton Darud Dunia dan terus menuju ke pemakaman raja-raja/Sultan. Keranda jenazah dibawa masuk ke dalam makam lalu dilaksanakan upacara pemakaman. Yang turun ke dalam liang lahat adalah Laksamana Meurah Ganti dan Datuk Bendahara Muhammad Tun Seri Lanang (Bentara Tandil Samalanga). Ke dalam Keranda ditungkanlah emas urai (pasir tanah) sekitar tubuh jenazah Putroe Pahang, keranda (peti mati) ditutup lalu di timbun dengan tanah sebagaimana biasa dan acara pemakaman selesai.






Saleum Rakan

Makalah Makanan Khas Tradisional Aceh



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur segala puji bagi Allah SWT penguasa alam dan seisinya yang telah memberikan hidayahnya kepada penulis sehingga makalah dengan judul “ Makanan dan Masakan Aceh ” ini dapat penulis selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya, dan tidak lupa selawat dan salam semoga tercurahkan atas utusan Allah sebagai Rahmat bagi alam semesta.

Ucapan terimakasih tak lupa pula penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu / membimbing penulis dalam penyusunan Makalah ini, kepada Guru Pembimbing, rekan - rekan seperjuangan serta kedua orang tua penulis. 

Penulis menyadari di dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi kesempurnaan makalah ini, mudah-mudahan makalah bermanfaat untuk kita semua. Amin ya rabbal ‘alamin.


Kuta Binjei,    Mei 2013

Penulis







DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ........ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB  I      PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.      Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
2.      Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1
3.      Manfaat Penelitian .................................................................................... 2

BAB  III    PEMBAHASAN ................................................................................................ 3

Makanan Khas Tradisional Aceh ................................................................. 3

1.      Manisan pala ............................................................................................. 3
2.      Sanger ........................................................................................................ 4
3.      Pisang Sale ............................................................................................... 4
4.      Kembang loyang ....................................................................................... 5
5.      Lepat ........................................................................................................... 6
6.      Rujak Aceh Samalanga ........................................................................... 6
7.      Keumamah ................................................................................................ 7
8.      Kue Bhoi .................................................................................................... 8
9.      Bohromrom ................................................................................................ 9
10. Meuseukat ................................................................................................. 9

BAB  III    PENUTUP ...................................................................................................... 11
1.      Kesimpulan ............................................................................................. 11
2.      Saran ........................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ iii





BAB I
PENDAHULUAN

1              Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang Budaya Aceh memang tak habis-habisnya dan tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Topik yang satu ini memang menarik untuk dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi,selama manusia itu ada selama itu pula persoalan makanan dan penganan akan terus dibicarakan.

Demikian pula halnya Makanan Aceh, makanan yang terdapat didaerah yang pernah dilanda konflik dan Tsunami 26 Desember 2004  lalu. Dua peristiwa besar yang melanda Nanggroe Aceh Darusalam telah mencatat banyak sejarah.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan yang mempunyai kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan tulus. Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau.

2              Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui sejauh mana Budaya Aceh mengalami perubahan,dan pandangan masyarakat aceh terhadap petuah dan kebiasaan - kebiasaan yang telah turun menurun berlaku dalam masyarakat, petuah atau kebiasaan yang disebut adapt istiadat di Nanggroe Aceh yang mulai dikesampingkan oleh generasi muda, yang bersifat negatif yang terjadi pasca konflik dan tsunami.




3              Manfaat Penalitian
Supaya kita menyadari pentingnya menjaga adat Budaya Aceh agar tidak terpengaruhi oleh budaya asing. Karena kita tanpa sadari dan secara tidak langsung kita telah merusak badaya kita sendiri. Dan terjerumus kepada perilaku yang tidak baik, kita sudah menginjak-injak warisan endatu kita.



BAB II

PEMBAHASAN

 

Makanan Khas Tradisional Aceh

 

1. Manisan pala





Manisan
pala merupakan salah satu jenis makanan ringan yang tergolong dalam kelompok manisan buah-buahan. Usaha pembuatan manisan pala tidak memerlukan teknologi yang sulit dan pembuatannya cukup mudah, oleh karena itu usaha ini mudah dilakukan oleh para pengusaha baru.

Pembuatan manisan pala umumnya dilakukan oleh pengusaha kecil di daerah penghasil pala. Kabupaten Aceh Selatan adalah kabupaten penghasil komoditi pala terbesar di Aceh bahkan di Pulau Sumatera. Manisan buah pala ini termasuk industri rumah tangga yang banyak dijumpai di Kabupaten Aceh Selatan. Selain diolah menjadi manisan dan sirup, pala dapat dibuat juga menjadi minyak pala yang berkhasiat tinggi untuk mengobati luka. Bahkan kini kue dan kembang gula pun dapat dibuat dari buah pala.

Manisan pala selain menjadi makanan ringan yang disajikan pada saat perayaan hari-hari besar lebaran dan tahun baru bagi masyarakat setempat juga dapat dijadikan buah tangan bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini.

2.  Sanger



Sanger adalah sejenis minuman yang hanya ada di Aceh. Sanger atau juga sering di sebut kopi sanger ini secara umum mirip dengan capucino, tapi menurut saya jauh lebih nikmat kopi sanger ini. Selain itu jika kita melihat sekilas maka sanger ini akan sangatlah tampak seperti kopi susu biasa, tetapi jika kita menilik dari rasanya, kopi sanger ini memiliki rasa yang sangat khas dan berbeda dari rasa kopi lainnya.

Memang dari dahulu Aceh ini terkenal dengan khas kopi saring/tarik-nya. Bagi para pecinta kopi sejati pasti akan segera dapat merasakan bedanya, apabila sudah merasakan kopi Aceh. Warung yang paling terkenal dalam menyajikan jenis minuman ini adalah warung solong di kawasan Ulee Kareng dan Chek Yuke di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Selain itu, hampir di setiap ruas jalan di Banda Aceh pasti akan banyak kita temui warung-warung kopi, tempat nongkrong dari segala usia.

3.  Pisang Sale
 
Pisang adalah tanaman hortikultura yang cukup penting untuk kesehatan. Pisang yang sudah matang dapat diolah berbagai macam makanan salah satunya adalah disale alias pisang sale, pisang sale sudah lama dikenal sebagai makanan tradisional daerah, salah satunya pisang sale khas Aceh banyak dikawasan Kabupaten Aceh Timur yang merupakan sentra pisang sale untuk daerah Aceh.

Pisang sale khas Aceh, proses pembuatannya adalah pisang yang sudah matang di kupas kulitnya lalu dijemur dipanas matahari , setelah itu dilakukan penyaleaan / pengasapan sehingga pisang sale lebih tahan lama, seterusnya dioleskan / dilumuri gula tebu (bukan gula pasir),pisang sale mempunyai aroma dan rasa yang khas. Warnanya kecoklat-coklatan, agak berkilat sedikit membuat kita ingin mencicipinya.

Pisang sale merupakan makanan ringan masyarakat Aceh sejak zaman indatu dulu, yang sudah menjadi buah tangan dari Aceh. Pisang sale bisa langsung dimakan atau digoreng dengan tepung terlebih dahulu.

4.  Kembang loyang


Kembang loyang ini terbuat dari tepung roti yang di campur dengan gula dan telur serta pati santan. Adonan ini diaduk hingga rata lalu cetakan kembang loyang dicelupkan ke dalam adonan kemudian digoreng ke dalam penggorengan.

Kue ini sering kita jumpai disaat ada acara hajatan, tidak ketinggalan juga dipelosok-pelosok desa di Aceh kue sangat setia untuk menemani pada hari-hari besar agama, seperti waktu lebaran, serta cocok dinikmati pada waktu-waktu santai bersama keluarga.

5.  Lepat

Lepat, makanan ini di buat dari tepung ketan yang diisi dengan gula merah hingga kalis, kemudian di bungkus dengan menggunakan daun pisang dan di bagian tengahnya di beri kelapa parut yang telah di gongseng dengan gula yang di namakan inti lalu di kukus hingga matang. Lepat khusus di sajikan pada hari-hari tertentu pada masyarakat Gayo terutama menjelang puasa (megang) dan lebaran, makanan ini tahan lama jika di asapi dapat bertahan sampai 2 minggu.
6.  Rujak Aceh Samalanga


Rujak Aceh Samalanga, disebut demikian karena rujak Aceh tentunya banyak ditemukan di Aceh sampai dipelosok-pelosok desa. Samalanga merupakan salah satu kecataman yang terdapat di kabupaten Bireuen.

Keunikan rujak Aceh pada umumnya memiliki keistimewaannya yang terletak pada cita rasanya yang asam, manis dan pedas. Bahan-bahan yang digunakan memang relatif sama seperti pembuatan rujak pada umumnya, yang terdiri dari buah mangga, pepaya, kedondong, bengkuang, jambu air, nenas, dan timun, namun bumbu-bumbu yang digunakan, memiliki ciri khas tersendiri seperti garam, cabe rawet, asam jawa, gula aren (merah) yang cair, kacang tanah dan pisang monyet (pisang batu) atau rumbia (salak Aceh).

Yang menarik dari rujak Aceh Samalanga ini, di atas tempat ulekan yang besar terbuat dari batu itu bisa menampung untuk 50 porsi rujak, ada juga ulekan yang digunakan biasanya yang terbuat dari kayu jati. Cara penyajiannya rujak biasanya memang ddilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ditaruh di dalam piring dan yang kedua ditaruh di atas daun pisang. Pembeli yang makan di warung, biasanya disediakan di dalam piring, sedangkan yang akan dibawa pulang, biasanya dibungkus dengan daun pisang yang tentu menjadi ciri khas tersendiri.

7.  Keumamah 

Keumamah atau sering disebut dengan Ikan kayu merupakan makanan tradisional Aceh yang paling banyak diminati oleh masyarakat Aceh. Selain memiliki rasa yang lezat dan unik, ikan ini terbuat dari ikan tuna yang telah direbus, kemudian dikeringkan dan diiris-iris kecil.

Biasa dimasak dengan menggunakan santan kelapa, kentang, cabai hijau dan rempah lainnya. Ikan kayu ini tahan lama untuk dibawa perjalanan jauh, sehingga dapat dijadikan bekal dalam perjalanan. Selama perang Aceh melawan Belanda di hutan, jenis makanan ini sangat terkenal karena sangat mudah dibawa dan dimasak. Nama lainnya adalah katshiobushi.

8.  Kue Bhoi 

Kue Bhoi adalah penganan khas Aceh Besar yang dikenal luas oleh masyarakat Aceh. Bentuk kue ini sangat bervariasi, seperti : bentuk ikan, bintang, bunga, dan lain-lain. Kue Bhoi ini dapat menjadikan salah satu buah tangan ketika akan berkunjung ke sanak saudara atau tetangga yang mengadakan hajatan atau pesta, seperti sunatan dan kelahiran.

Kue Bhoi ini mempunyai harga yang sangat relatif murah, satu kemasan berkisar dengan harga Rp. 5.000,- ,10.000,- bahkan ada yang ratusan ribu.

Kue Bhoi juga dijadikan sebagai salah satu isi dari bingkisan seserahan yang dibawa oleh calon pengantin pria untuk calon pengantin perempuan pada saat acara pernikahan.

Kue Bhoi sendiri biasanya diperoleh di pasar-pasar tradisional ataupun dipesan langsung pada pembuatnya. Proses pembuatan kue Bhoi ini pun tergolong sedikit rumit. Pasalnya, tidak semua orang bisa membuat kuliner ini dan dibutuhkan kesabaran serta keuletan.

9.  Bohromrom 


Bohromrom atau dikenal juga dengan kue boh duek beudeh, kue ini terbuat dari tepung ketan yang dibalut dengan parutan kelapa. Cara membuatnya sangat mudah. Campurkan tepung ketan, garam dan air panas. Aduk hingga rata. Tuang air dingin, aduk hingga adonan kalis. Ambil satu sendok teh adonan isi dengan bahan isian yakni gula jawa. Bulatkan dan panaskan air bersama daun pandan hingga mendidih. Masukkan adonan, angkat, gulingkan diatas kelapa parut lalu sajikan.

10.  Meuseukat  


Meuseukat ini merupakan salah satu kue tradisional dari aceh atau semacam dodol nanas khas aceh. Meuseukat terbuat dari tepung terigu dan campuran buah nanas, paduan yang unik dengan cita rasa yang khas. Meuseukat sangat jarang ditemukan dipasar-pasar tradisional dan terkadang harus dipesan terlebih dahulu.

Jika sebelumnya meuseukat sering dibawa pada acara perkawinan aceh, kini meuseukat dapat juga dijadikan oleh-oleh jika berkunjung ke aceh.






BAB III
PENUTUP

1.            Kesimpulan
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan dan makanan / penganan. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai - nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Kesehatan ibu hamil harus terus di perhatikan. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan keluarga terhadap kebutuhan ibu dari saat hamil sampai melahirkan, baik dari segi makanan, ramuan, obat - obatan,  thet batee (bakar batu), salee (diasapi), dan lain-lain.
Fenomena syariat Islam di Aceh hari ini cendrung mengarah kepada pendistorsian syariat itu sendiri. Di satu sisi budaya masyarakat Aceh adalah budaya yang sangat mendukung pelaksanaan syariat Islam, tapi pada prosesnya mengalami hambatan di tingkatan atas, yaitu elite-elite politik yang cenderung menjadikan syariat Islam itu sebagai komoditas politik yang berorientasi pada kekuasaan. Indikasinya ditandai dengan lambannya proses pembuatan kanun-kanun (UU).

2.            SARAN
Maka dari itu kita harus memahami faham tentang adapt dan budaya kita. Kita juga harus memahami seberapa penting adat, budaya  bagi kehidupan masyarakat, guna tercapai hidup yang lebih baik, sebagaimana orang-orang sebelum kita kita menjaga adapt budaya, maka dari itu marilah sama-sana kita menjaganya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita, agar kita lebih memahami dan mengerti permasalahan Adat dan Kebudayaan Aceh.


DAFTAR PUSTAKA
Thaib,Rosita.2008.SINTAKSI. Banda aceh :Universitas syah kuala.






Saleum Rakan
RANUP ATJEH