UJARAN
A.
Pengertian Makna Ujaran
Berbicara
mengenai makna, telah banyak sekali para fakar linguistik memberikan definisi
mengenai makna. Berikut ini beberapa definisi mengenai makna :
1.
Menurut Kamus Besat Bahasa Indonesia (1997) “ Makna
adalah (a) arti, (b) maksud pembicaraan atau penulis, (c) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.”
2.
Verhaar (1978) “ Makna adalah gejala Internal bahasa.”
3.
Kridalaksana (1982:131) “ Makna adalah maksud, pembicara,
hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di
luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya.”
4.
Aminuddin (2001:52) “ Makna adalah hubungan antara bahasa
dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa
sehingga dapat saling dimengerti.”
B.
Bagaimana Manusia Memahami Ujaran
( Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika
Atma Jaya. 2003. PSIKOLINGUISTIK : Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia )
Bab ini membahas bagaimana manusia dapat
memahami kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana yang didengar. Bagaimana
komprehensi (pembentukan makna dari bunyi) dalam sebuah kalimat yang kita
ucapkan. Dari sudut pandang ilmu psikolinguistik, ada dua macam
komoprehensi (Clark & Clark 1977). Yaitu :
1.
Komprehensi yang
berkaitan dengan pemahaman atas ujaran yang kita dengar.
2.
Komprehensi yang
berkaitan dengan tindakan yang perlu kita lakukan setelah ujaran itu kita
dengar.
Untuk memahami makna suatu ujaran (kata, frasa, klausa, kalimat, wacana), ada beberapa hal pokok yang prlu kita ketahui. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Struktur lahir dan struktur batin dari suatru ujaran
Pada struktur lahir dan batin ini kita
diajarkan bagaimana kita memahami makna suatu ujaran bukan hanya dari
segi pemukaan yang kita lihat atau urutan kata yang terdapat pada ujaran
tersebut atau ciri-ciri tertentu masing-masing kata (struktur lahir), tetapi
kita diajarkan juga bagaimana kita dapat memahami makna ujaran dari segi
representasi yang mendasarinya atau kerumitannya yang terkesan menjadi sebuah
kalimat yang ambigu (struktur batin).
Pada struktur lahir sebuah ujaran kita
dapat mengambil contoh berikut agar dapat memahaminya.
Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis.
Kalimat tersebut dapat kita pahami cukup
dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa pun yang
mendengar kalimat ini akan memberi interpretasi yang sama, yakni, adanya
seorang lelaki, lelaki itu sudah tua, dia senang bermain sesuatu, dan sesuatu
itu adalah tenis. Sedangkan kehadiran pemahaman pada struktur batin pada sebuah
ujaran dapat kita lihat pada contoh berikut.
Ternyata kehadiran frasa lelaki dan
wanita tua itu menjadikan ujaran tersebut terkesan ambigu. Kita dapat
memaknainya sebagai sebuah kalimat yang rumit. Kita tidak yakin apakah lelaki
itu juga tua seperti wanita atau hanyha wanitanya saja yang tua. Interpretasi
ini muncul karena adjektiva tua dapat berfungsi sebagai pewatas hanya pada
nomina wanita saja atau pada frasa lelaki dan wanita. Jadi, dalam memahami
sebuah ujaran kita perlu memahami makna struktur lahir dan makna struktur batin
dari ujaran tersebut.
2.
Proposisi
Pada proposisi ini yang dibahas adalah
unit-unit makna pada kalimat. Proposisi ini terbagi menjadi dua bagian senagai
berikut :
1.
Argument
(hal-hal yang dibicarakan), dan
2.
Predikasi
(pernyataan yang dibuang mengenai argumen).
Pengertian mengenai preposisi ini penting
untuk komprehensi karena yang kita fahami dari suatu kalimat sebenarnya adalah
proposisi-proposisi. Seorang pendengar menerima masukan berupa
rentetan-rentetan kata yang disusun secara hierarkis. Begitu kita mendengar
sebuah kata, proses mental kita mulai bekerja dengan membangun makna pada kata
ini dengan memanfaatkan fitur-fitur pada kata ini. Hal tersebut dapat kita
liikut.hat pada contoh berikut.
Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Pada saat kkita mendengar kata preman
munturcullah dalam benak kita fitur-fitur semantic [+ manusia], [+ jantan],
[+perilaku negatif], dan sebaginya. Kata tua menambahkan fitur [+ berumur
lanjut], dan itu menambahkan lagi fitur [+ definit] (dan bukan [+ genetik]).
Pengurutan kata preman kemudian tua, dan kemudian itu (dan bukan prema
lalu itu, dan kemudian tua)membentuk suatu hierarki proposisi pada tataran
frasa yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah preman yang telah berumur
lanjut, dan orang itu adalah orang yang telah kita ketahui identitasnya.
3.
Konstituen sebagai realita psikologis
Pada bagian ini yang dibahas secara
detail adalah apakah betul dengan adanya pembagian kalimat secara konstituen
memiliki realitas psikologis atau hanyalah merupakan suatu cara oleh linguis
untuk memotong-motong kalimat? Ternyata konstituen bukanlah hanya ssekedar
pemotongan kalimat yang sifatnya arbiter saja, melainkan kekeliruan sedikit
saja dalam melakukan pemotongan kata maka akan mempengaruhi pendengaran dan
mengganggu komprehensi karena pada dasrnya konstituen mempunyai landasan
psikologis maupun sintaksis yang kuat. Hal tersebut dapat kita lihat pada tiga
hal berikut ;
1. Konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual.
Contoh: Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Frasa nomina pada preman tua itu memiliki makna
konseptual yang utuh karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain
yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya, Alex atau dia.
2. Pemotongan kelompok kata akan mempengaruhi komprehensi kita.
Contoh:
a.
Kaidah-kaidah/ penyakit ini memang/ sukar. Para/ mahasiswa sering kurang/ dapat
menggunakan kaidah/ ini dengan sempurna. Kaidah/ yang tersulit/ adalah kaidah
rekaan. Perbedaan/ derajat kesukaran dalam/ pengamalan kaidah….
b.
Kaidah-kaidah penyakit ini/ memang sukar//. Para mahasiswa/ sering kurang dapat
menggunakan/ kaidah ini dengan sempurna//. Kaidah yang tersulit/ adalah/ kaidah
rekaan//. Perbedaan derajat kesukaran/ dalam pengamalan kaidah….
3.
yang tersimpan dalam memori bukanlah kata-kata yang terlepas dari
konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-mansing konstituen.
Contoh : Preman tua itu mencuri sepeda saya. Yang
tersimpan dalam memori kita pastilah preman itu dengan atribut ketuaannya.
Untuk sepeda, kepemilikan dari sepeda itulah yang akan tersimpan, yakni, bahwa
sepeda itu milik saya.
4.
Strategi dalam memahami ujaran
Strategi-strategi yang digunakan dalam
memahami ujaran, adalah
1.
Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita
dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan kata
pertama dalam konstituen tersebut. Contoh : jika kata pertama yang kita dengar
adalah orang, maka kita mencari kata lain yang secara sintaksis bisa
berkolokasi dengan kata tersebut, seperti tua, besar, bodoh, atau itu. Karena
kata orang hampir selalu diikuti oleh sesuatu yang lain untuk menjadi suatu
konstituen.
2.
Setelah memndengar kata pertama dalam suatu konstituen, perhatikan apakah kata
berikutnya mengakhiri konstruksi itu. Seandainya setelah kata orang
muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan bahwa konstruksi orang
yang tidak mungkin membentuk suatu konstituen, karena kata yang
pastilah membentuk anak kalimat. Maka kita mengharapkan munculnya anak kalimat
itu agar menjadi suatu FN yang baik. Misalnya orang yang mencari kamu.
3.
Setelah kita mendengar suatu verba, carilah jenis argumen yang selaras dengan
verba tersebut. Jika verba yang kita dengar adalah verba memukul maka kta pasti
mengharapkan adanya suatu argumen, yakni benda atau makhluk yang di pukul.
Misalnya dia memukul meja.
5.
Ambiguitas
a)
Macam Ambiguitas
Dilihat dari segi unsur leksikal dan
struktur kalimatnya, ambiguitas dapat dibagi menjadi dua macam, yakni
ambiguitas leksikal dan ambiguitas gramatikal.
1.
Ambiguitas
leksikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk leksikal yang
dipakai. Contoh: ini bisa. Dari kalimat tersebut kita tidak tahu
apakah bisa di sini berarti racun atau sebagai sinonim dari kata dapat.
2.
Ambiguitas
gramatikal adalahmacam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur
kalimat yang dipakai. Contoh: pengusaha wanita itu kaya. Kalimat tersebut
ambigu karena pengusaha wanita bisa berarti pengusaha yang berjenis kelamin
wanita atau pengusaha yang mendagangkan wanita. Ambiguitas ini muncul
semata-mata karena urutan katanya atau struktur kalimatnya. Bila dibalik, hal
itu tidak akan terjadi. Ambiguitas gramatikal dibagi menjadi dua, yakni
ambiguitas sementara yaitu fungsi sintaksis suatu bentuk leksikal berstatus
ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperolah kata tambahan yang memudari
ambiguitas itu. Yang kedua yakni ambiguitas abadi yaitu, kalimatnya masih tetap
ambigu meskipun kita sudah sampai pada kata terakhir.
b)
Teori pemrosesan
kalimat ambigu
Ada dua macam teori mengenai pemrosesan
kalimat yang bermakna ganda.
1.
Garden path theory
(GPT), yakni orang membangun makan berdasarkan pengetahuan sintaksis. Ada dua
prinsip dalam teori ini. Yang pertama Minimal Attachment Principle (MAP) dan
Late Closure Principle (LCP).
2.
Teori Constraint
Satisfaction Theory. Model-model dalam teori ini mengikuti kaum koneksionis
yang menyatakan bahwa unit-unit pemrosesan awal memiliki kendala daya asosiatif
yang berbeda-beda.
6.
Penyimpanan kata
Penyimpanan kata dapat kita contohkan
dengan ditunjukkannya sebuah benda yang biasa dipakai untuk menulis dan dalam
benda itu terdapat tinta yang kemudian meninggalkan bekas pada lain yang kita
tulisi, maka tanpa berpikir kita akan berkata “pena”. Kita katakana tanpa
berpikir karena proses retrifal kata itu berjalan begitu cepat sepertinya
otomatis keluar begitu saja. Begitu juga bila kita bertindak sebagai pendengar,
kita dapat memahaminya seolah-olah tanpa berpikir padahal prosesnya sangatlah
panjang dan kompleks. Pertama, kita harus dapat terlebih dahulu menentukan
apakah empat bunyi yang kita dengar itu,/p/e/n/a/, adalah kata dalam bahasa
kita. Penentuan ini didasarkan pada kompetensi kita sebagai penutur bahasa
Indonesia yang secara intuitif tahu bahwa urutan bunyi seperti itu memang
mengikuti kaidah fonotatif bahasa kita atau tidak. Artinya, apakah urutan bunyi
seperti dicontohkan membentuk wujud yang “pantas” dalam bahasa kita.
Kedua, kita harus mengumpulkan
fitur-fitur apa yang secara alami melekat pada benda itu : bentuk fisiknya,
ukurannya, fungsinya, warnanya, dan sebagainya. Kita memiliki gambaran mengenai
objek di dunia ini.Ketiga, kita harus membandingkan dengan benda-benda lain
yang fitur-fiturnya tumpang tindih. Dengan fitur-fitur ini, misalnya pensil,
kapur, spidol, dan marker. Pena dan pensil, misalnya memiliki bentuk fisik yang
mirip dan fungsinya pun boleh dikatakan sama yakni untuk menulis. Namun ada
fitur lain yang membuat kedu benda ini berbeda, yang satu mudah dihapu, yang
lainnya tidak dan seterusnya.
Keempat, kita harus memilih di antara
benda-benda yang sama itu mana yang memenuhi semua syarat. Proses ini tentunya
makan waktu karena untuk mencapai kata yang kita inginkan harus dilakukan
dengan proses eliminasi. Pensil memenuhi banyak syarat, tetapi wujud fisik
tulisannya bukan dari tinta. Spidol juga memenuhi banyak syarat, tetapi wujud
fisik benda ini dan hasil tulisannya juga berbeda, dan seterusnya.
Dari gambaran di atas tampak bahwa proses
untuk meretrif (retrief) kata, baik sebagai pembicara maupun sebagai pendengar,
bukanlah hal yang sederhana. Yang menerik untuk dikaji adalah bagiamana kata
itu disimpan dalam benak kita sehingga kita dapat menemukan kata yang kita
perlukan.
a.
Faktor
yang mempengaruhi akses terhadap kata
Pada dasarnya retrifal kata dipengaruhi
oleh berbagai factor. Pertama, frekuensi kata yakni makin sering suatu kata dipakai
makin cepatlah kita dapat memanggilnya pada saat kita memerlukannya. Kata-kata
seperti mengharapkan atau menutup memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada
memalarkan atau memalah, orang bahkan ada yang tidak mengerti apa makna kedua
kata terakhir ini.
Factor kedua adalah ketergambaran suatu
kata yang dapat dengan mudah digambarkan atau dibayangkan akan lebih mudah
dimenegrti dan diingat. Kata-kata konkrit, misalnya lebih mudah diingat
daripada kata-kata abstrak.
Factor ketiga adalah keterkaitan
semantic. Kata tertentu membawa keterkaitan makna yang lebih dekat kepada kata
tertentu yang lain dan bukan kepada kata tertentu yang lainnya lagi. Kalau kita
diberi kata besar, maka tidak mustahil kita dapat dengan cepat meretrif kata
kecil. Begitupula kalau kita diberi kata burung, kita mungkin saja akan cepat
mengasosiasikannya dengan beo atau perkutut.
Factor keempat adalah kategori
gramatikal. Ada kecenderungan bahwa kata disimpan berdasarkan kategori
sintaksisnya. Hal ini terlihat dari kilir lidah yang selalu terwujud dalam
kategori sintaksis yang sama.
Factor kelima adalah factor fonologi.
Morfem yang bunyinya sama atau mirip disimpan pada tempat-tempat yang
berdekatan. Hal ini terbukti pada gejala “lupa-lupa ingat” (tip of the
tongue).
b.
Teori
tentang makna
Bagaimana orang memahami makna kata,
diajukan dua teori, yakni teori fitur dan teori berdasar pengetahuan.
Teori fitur pada dasarnya menyatakan
bahwa kata memiliki seperangkat fitur, atau ciri yang menjadi bagian integral
dari kata itu. Kata anjing,misalnya memiliki fitur [+bernyawa], [+binatang],
[+warna(biasa hitam, coklat, putih, belang-belang)], [+kaki empat], [+telinga
dua], [+ekor satu], [+ukuran badan], [+suara guk-guk], dan seterusnya.
Fitur-fitur inilah yang secara keseluruhan membentuk konsep yang dinamakan
anjing.
Teori berdasar pengetahuan
(knowledge-based the theory). Teori ini masih bersandar pada teori gitur,
tetapi diperluas. Dalam teori ini tidak hanya fitur yang dilihat tetapi juga
esensi dan konteksnya. Manusia tidak hanya menyerap fitur-fitur itu tetapi juga
melihat esensinya. Kucing, misalnya memang memiliki fitur [+kaki empat], tetapi
tidak mustahil, bahwa ada kucing yang karena kegagalan genetic hanya mempunyai
tiga kaki. Begitu juga kalau satudu kakinya patah, dia akan terus hidup dengan
tiga kaki. Binatang ini akan tetap kita anggap sebagai kucing.
C.
Manusia dalam Memahami Makna Ujaran
Dalam
memahami makna ujaran, pertama perlu diingat adanya dua bidang kajian tentang
makna, yaitu semantik dan semiotik. Kedua buah kajian tersebut saling mendukung
satu sama lain dalam memahami makna ujaran dalam sebuah praktek berbahasa.
Semantik khusus mengkaji makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia,
sedangkan semiotik mengkaji semua makna yang ada dalam kehidupan manusia seperti
makna-makna yang dikandung oleh berbagai tanda dan lambang serta
isyarat-isyarat lainnya, seperti pemahaman mengenai gerak-gerak tubuh, anggota
tubuh, mimik dan sebagainya.
Kedua, untuk
memahami makna sebuah ujaran maka harus pula memperhatikan faktor - faktor lain
diluar bahasa, seperti faktor sosial, faktor sosiologi dan faktor budaya.
Ketiga,
untuk memahami makna sebuah ujaran maka harus memahami tingkatan makna secara
semantik, diantaranya :
1.
Makna leksikal
Makna
leksikal adalah makna yang secara interen dimiliki oleh sebuah leksem, makna
leksikal dapat juga diartikan makna kata secara lepas, diluar konteks
kalimatnya. Didalam kamus bahasa makna leksikal biasanya didaftarkan sebagai
makna pertama dari kata yang terdapat dalam kamus tersebut. Contoh, kata
“kepala” dengan arti “bagian tubuh dari leher ke atas” adalah makna leksikal.
Sedangkan “kepala” dengan arti “pemimpin” bukan makna leksikal.
Di dalam
studi semantik yang menyangkut makna leksikal terdapat beberapa kasus makna,
yaitu :
a.
Kasus Kesinoniman
Kesinoniman,
maksudnya apabila ada sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna. Contoh kata
ayah dengan bapak, mati bersinonim dengan wafat, meninggal dengan mampus. Kasus
kesinoniman ini bisa menjadi masalah, karena dua kata yang bersinonim hanya
kurang lebih sama maknanya, tidak sama persis.
Contoh :
Ø
Bapak si Amin baru
pulang dari Medan
Ayah
Tetapi pada
kalimat berikut tidak dapat saling menggantikan.
Ø
“Selamat pagi Bapak lurah!”
seru anak itu
Ayah
Adapun
ketidakpastian yang menyebabkan kata yang bersinonim tidak dapat dipertukarkan
yaitu faktor areal, maksudnya dimana kata tersebut biasa digunakan. Contoh
“saya” dapat digunakan dimana saja di Indonesia, sedangkan “beta” hanya di
Indonesia bagian timur.
Yang kedua,
faktor sosial adalah tingkat tingkat kedudukan sosial diantara dua partisipan
yang menggunakan katan yang bersinonim itu. Contoh kata “saya” dapat digunakan
oles siapa saja dan terhadap siapa saja, sedangkan “Aku” hanya digunakan
terhadap lawan bicara yang lebih muda.
Yang ketiga,
faktor temporal yaitu waktu penggunaan kata - kata itu. Contoh “hulubalang”
digunakan dalam konteks klasik, sedang “komando” untuk masa sekarang.
Yang
keempat, faktor bidang kegiatan artinya dalam bidang apa kata-kata tersebut
digunakan. Contoh kata “matahari” dapat digunakan dalam bidang apa saja,
sedangkan “surya” digunakan dalam sastra saja.
Yang kelima,
faktor fitur semantik artinya faktor ciri - ciri semantik yang dimiliki secara
interen oleh kata-kata itu sehingga membedakan kata yang satu dengan yang
lainnya. Contoh melihat, melirik, mengintif, menonton.
b.
Kasus Keantoniman
Antonim
artinya keadaan dua buah kata atau leksem yang maknanya bertentangan,
berkebalikan, atau berkontras. Contoh baik dan buruk, penjual dan pembeli dan
sebagainya. Terdapat beberapa tipe keantoniman :
1)
Keantoniman mutlak, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang maknanya saling mediadakan. Contoh: hidup-mati,
gerak-diam.
2)
Keantoniman relatif, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang pertentangan maknanya bersifat relatif. Contoh
baik-buruk, tidak baik bukan berarti buruk tapi bisa saja kurang baik, sangat
buruk dan lain - lain.
3)
Keantoniman relasional, yakni keantoniman dua buah kata
atau leksem yang maknanya saling melengkapi, atau adanya sesuatu karena adanya
yang lain. Contoh: suami-istri, guru-murid.
4)
Keantoniman hierarkial, yakni keantoniman dua buah kata
atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang urutan dari ukuran, nilai,
timbangan, kepangkatan. Contoh: tamtama-bintara, gram-kilo gram.
5)
Keantoniman ganda, adalah keantoniman sebuah kata dengan
pasangan lebih dari satu contoh: “berdiri” dengan “duduk”, “berbaring”,
“tiarap”, “jongkok”
c.
Kasus Kehomoniman
Kehomoniman,
maksudnya suatu keadaan adanya dua buah kata atau lebih, yang ciri fisiknya
persis sama, tetapi maknanya berbeda. Contoh kata paus, hak, pacar, kopi. Kata -
kata tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran. Contoh “saya minta kopinya
saja”, kata “kopi” dapat diartikan minuman kopi dan bisa juga salinan surat
yang difotocopy.
Dalam bahasa
tulis ada istilah homograf yang digunakan untuk menyebut kata yang tulisannya
sama lapalnya berbeda, contoh kata <tahu> dalam arti “sejenis makanan
dari kacang kedelai” dilafalkan <Tahu>, dan kata <tahu> dalam arti
mengerti, memahami, dilafalkan <Tau>.
Sedangkan
homofoni digunakan untuk menyebut dua buah kata yang lafalnya sama tapi
tulisannya berbeda. Contoh dilapalkan <ban> dalam arti kakak laki - laki
atau lembaga keuangan.
d.
Kasus Kehiponiman dan Kehiperniman
Kehiponiman
artinya keadaan sebuah kata yang maknanya tercakup atau berada di bawah kata
yang lain. Contoh kata “merpati, gelatik, tekukur” bercakup dalam kata
“burung”. Sedangkan kebalikan hubungan antara “burung” dan merpati disebut
hipernim.
2.
Makna Gramatikal
Makna
gramatikal adalah makna yang muncul dikarenakan adanya proses gramatikal.
Berikut ini kasus - kasus yang berhubungan dengan makna gramatikal:
a.
Fitur Makna
Makna setiap
butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk makna
keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya (Nida, 1995; Larson, 1989). Contoh
analisis fitur makna kata boy, man, girl, dan woman.
Fitur Makna
|
Boy
|
Man
|
Girl
|
Woman
|
1. Manusia
2. Dewasa
3. Laki-laki
|
+
-
+
|
+
+
+
|
+
-
-
|
+
+
-
|
b.
Makna Gramatikal Afikasi
Afikasi
adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Contoh afikasi dengan frefik
ber-pada kata dasar yang berfitur makna [+ pakaian] akan melahirkan makna
gramatikal “mengenakan”. Untuk kata - kata tertentu makna gramatikal harus
dilihat tidak hanya dalam tataran morfologi saja, tetapi bagaimana kedudukan
kata tersebut dalam kalimat. Contoh :
Ø
Usaha mematung banyak dilakukan penduduk desa.
Ø
Dia duduk saja mematung dalam seminar itu.
c.
Makna Gramatikal Reduflikasi
Makna
garmatikal reduflikasi artinya makna yang muncul dikarenakan adanya pengulangan
kata untuk memahami makna dalam proses reduflikasi maka harus dilihat dari
kedudukannya kata tersebut dalam tataran sintaksis. Contoh :
Ø
Bukalah pintu itu lebar - lebar!
Ø
Daunnya sudah lebar - lebar, tetapi belum dipetik.
Ø
Kumpulkan kertas yang lebar - lebar itu di sini.
d.
Makna Gramatikal Komposisi
Makna
gramatikal komposisi yaitu makna yang muncul sebagai akibat penggabungan dua
buah kata atau lebih. Contoh kata “kereta” dulu mengandung arti kendaraan yang
ditarik oleh kuda, tapi saat ini berkembang dan muncul gabungan kata kereta
api, kereta kuda, kereta bisnis, kereta barang, dan lain - lain.
e.
Kasus Kepolisemian
Kepoliseman
artinya apabila sebuah kata atau leksem memiliki labih dari satu makna. Contoh
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kepala” mempunyai arti : (1) bagian
tubuh di atas leher; (2) bagian di atas leher tempat tumbuhnya rambut; (3)
bagian benda sebelah atas ; (4) bagian yang terutama; (5) pemimpin, ketua.
Untuk
memahami makna dalam kasus kepoliseman maka harus dilihat kedudukan kata
tersebut dalam tataran sintuksis.
3.
Makna Kontekstual
Makna
kontekstual artinya hubungan antara ujran dan situasi dimana ujaran itu
dipakai, Konteks ujaran ini dapat terjadi dalam beberapa kasus, yaitu :
a.
Konteks Intra Kalimat
Artinya
makna kata tergantung pada kedudukannya di dalam kalimat, baik posisinya dalam
kalimat ataupun hubungannya dengan kata - kata lain dalam kalimat. Contoh :
Ø
Adik lagi makan
Ø
Adik makan lagi
Ø
Kakak jatuh cinta pada gadis itu
Ø
Kakak jatuh dari pohon jambu
b.
Konteks Antar Kalimat
Artinya
makna ujaran dalam kalimat bisa difahami maknanya, berdasarkan hubungannya
dengan makna kalimat sebelumnya atau sesudahnya. Contoh makna kata operasi
dalam kalimat :
Ø
Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi
operasi itu tidak jadi dilakukan. Menurut keterangan tim medis hal itu karena
tiba-tiba si pasien mengalami komplokasi.
Ø
Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi
operasi tidak jadi dilakukan. Hal ini karena rencana operai itu telah bocor,
sehingga tak sebuah becak pun yang keluar.
c.
Konteks Situasi
Maksudnya
kapan, dimana, dan dalam suasana apa ujaran itu di ucapkan. Contoh kalimat
tanya yang berbunyi “Tiga kali empat berapa?” bila di ucapkan oleh seorang guru
di kelas tiga SD, tentu memberi jawaban “dua belas”. Namun, bila ditujukan pada
tukang afdruk foto, maka jawaban mungkin “seribu” atau “seribu dua ratus”.
4.
Ujaran Taksa
Ujaran taksa
adalah ujaran yang maknanya dapat ditafsirkan bermacam-macam. Adapun sebab
terjadinya ketaksaan diantaranya :
a.
Adanya Keharmonisan
Yaitu adanya
kesamaan ciri fisik kata atau laksem. Contohnya “Minggu lalu saya bertemu
paus”. Paus pada kalimat tersebut menunjukan ketaksaan kerena belum jelas
apakah yang dimaksud kepala gereja atau sejenis ikan besar.
b.
Kekurangan Konteks
Contoh pada
kasus kehomoniman juga merupakan tanda adanya kekurangan konteks yang
menyebabkan ketaksaan. Jika konteks kalimat diperjelas maka ketaksaan dapat
diatasi. Contoh :
Ø
Mingu lalu ketika berkunjung ke Roma saya bertemu paus
Ø
Minggu lalu ketika berlayar di samudra ini saya bertemu
paus
c.
Ketidakcermatan Struktur Grametikal
Ketidakcermatan
struktur grametikal meliputi struktur frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Ketaksaan karena ketidakcermatan struktur grametikal dapat pula terjadi pada
kontruksi yang struktur grametikalnya berterima tetapi berbagai kendali
semantik telah menimbulkan ketaksaan padan kontruksi itu. Contoh “lukisan
Yusuf” terjadi ketaksaan apakah yang dimaksud lukisan yusuf, lukisan itu
karya Yusuf, atau lukisan itu menampilkan wajah Yusuf.
d.
Kekurangan Tanda Baca
Ketaksaan
kerena kekurangan tanda baca tanya hanya terjadi pada bahasa ragam tulis, hal
ini disebabkan karena pada ragam tulis tidak terdapat Intonasi yang dapat
memperjelas maksud ujaran. Contoh “Buku sejarah baru” terdapat ketaksaan apakah
buku itu mengenai sejarah baru atau buku baru itu mengenai sejarah. Untuk
menghilangkan ketaksaannya maka dapat diberi tanda hubung (-), seperti “Buku
sejarah-baru” untuk arti sejarah baru, dan “Buku-sejarah baru” untuk arti buku
baru itu mengenai sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar