Siapakah
Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September
1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan,
Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama
seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan
mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem ( imam )
Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius
yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan
nilai - nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil
dikumandangkan di setiap meunasah ( masjid kampung ). Ia juga memasuki masa
dewasa di bawah bayang - bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami
langkah hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud ( dua nama
Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur ). Dari penamaan ini sudah
terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia
mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap
membela Islam. Karena itu, pada masa - masa usia sekolah, ayahnya tidak
memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti :
Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan
kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam
dahulu semodel dayah / zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat
anti - Belanda / penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih
dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga
masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan
dididik dalam mempelajari tulis - baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam
( seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb ), pengetahuan tentang
sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu,
serta ilmu - ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini,
tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun
dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu
yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya
mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya
menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena
ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu,
dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia
yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam
dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator
ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup
luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar
"Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut
nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh
senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas
politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh - tokoh perlawanan. Dari kenyataan
ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah
berhenti melawan sebelum cita - cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan
segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari
PUSA Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim
Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid
dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi
politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin
mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif
beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah
organisasi yang bernama PUSA ( Persatuan Ulama Seluruh Aceh ) di Matang Glumpang
Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh
sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik
ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang - Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat
penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya
menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam.
Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu
pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton,
"M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia,
dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama
akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi
besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum
Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia,
sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka
tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran
Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala
jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi
fisik ( 1945-1949 ) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah
kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku
Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer
Aceh selama tahun - tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur
Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup
tenang - tenang di desanya - tampaknya seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia
Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur
Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam
Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya
yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April
1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling
Aceh, memberikan ceramah - ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam.
Ia kemudian kembali ke desanya, dan - membuat takjub penduduk Medan yang sudah
maju - membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya
sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang
sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang - Orang
Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta.
Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal.
Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang
dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan.
Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal : "Saya
tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah - masalah Aceh
sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda,
dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju
laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh
dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman
sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur.
Sekarang saluran - saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum
terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah
Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang
sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa
keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat
menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan
bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk
disebut ulama.
Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan
tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem
politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai
Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun
bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara
Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di
gunung - gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang
Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik
dengan berhala yang harus ditumbangkan.
Compton bisa memahami mengapa orang-orang
membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator
massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno
akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang
"Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.
Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam
di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan
menjelang Pemilu 1955 telah sangat menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan
apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh
menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada
kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai - partai Islam akan menang
besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia
dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam
yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau
menghidupkan kembali Hinduisme - Jawa ( Negara Pancasila ). Ia cemas bahwa
golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka sendiri khawatir kalau
pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut
Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda
pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan
Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang
merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada
perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh
kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi
asersi politik Islam.
Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh
kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian
meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta -buta yang disengaja oleh Orde
Baru - dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa
penghormatan yang layak dari orang - orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh
ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman
Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat - saat terakhir
dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh.
"Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk
mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan
sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun,
- menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing - dalam kenyataannya,
meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami
dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin
masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan
memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu
Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya
"Bapak Orang - Orang Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru
pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme
adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat
antusias.
Saleum Rakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar