Ranup
Tanda Mulia
Ranup Sigapu
Daun sirih di
Aceh dinamakan Ranup. Ranup memainkan peranan penting dalam
kehidupan orang Aceh. Ranup
yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian dikunyah sebagai
makanan pelengkap.
Prosesi
penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya divisualisasikan
menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik. Gerakan inilah
yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh
yang dinamakan Tari Ranup Lampuan. Menyajikan ranup
kepada tamu dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.
Namun kita tidak
pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di balik semua aktifitas yang
berkaitan dengan ranup. Ranup
bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara
fisik semata. Namun di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi,
karena di dalam memahaminya ranup menjadi simbol yang multi rupa.
Pemaknaannya
secara sosial dan kultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Ranup dengan segala perlengkapannya
memainkan peranan penting pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara
kebesaran sultan.
Selain itu dalam
perkembangannya, ranup juga
menempati peranan yang cukup penting dalam sistem daur hidup (life cycle)
masyarakat Aceh. Jika ada acara-acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat,
bahkan di acara penguburan mayat sekalipun, ranup
seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan ranup menjadi dua
hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.
Dari masa sebelum
melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai tujuh atau delapan bulan,
mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk menyambut kelahiran bayi. Pihak
mertua dan ibunya sendiri biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan
diberikan kepada bidan pada saat mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.
Tanda ini disebut
dengan peunulang, artinya hidup
atau mati orang ini diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan untuk
menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai sang bayi
lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti, ranup
setepak (bahan-bahan ranup), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang ala
kadarnya.
Pada saat bayi
lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah sembilu, kemudian diobati
dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit, dan air ludah ranup.
Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang didalamnya menggunakan ranup sebagai salah satu medianya adalah
upacara antar mengaji.
Upacara
perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan ranup dalam rangkaian upacaranya. Setelah seulangke mendapat kabar dari ayah si
gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan
waktu atau hari apa mengantar ranup kong
haba, artinya ranup
penguat kata atau perjanjian kawin (bertunangan).
Kemudian keluarga
si pemuda mengumpulkan orang-orang patut dalam kampung kemudian memberi tahu
maksud bahwa dimintakan kepada orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke
rumah ayah si gadis untuk meminang si gadis dan bila dikabulkan terus
diserahkan ranup kong haba atau tanda pertunangan dengan
menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname).
Dalam hubungan
sosial masyarakat Aceh, ranup
juga memiliki fungsi dan peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada
tamu. Sekaligus untuk menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok,
maupun sebagai media untuk meredam/menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni
sosial.
Simbol
Berkaitan dengan
adat menyuguhkan ranup
tersebut, ranup dapat diartikan
sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain
walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.
Sebentuk daun
sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek
indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung
di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani.
Ranup juga dianggap memiliki makna sebagai sumber
perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung
musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya ranup hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk
upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan ranup sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial
masyarakat Aceh, tamu (jamee)
harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa.
Hal ini terjadi
karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran
Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat.
Saleum Rakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar