Pada saat Aceh masih
sebagai sebuah kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di wilayah Kabupaten Aceh
Besar sekarang yang dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk ( Aceh Besar ). Untuk
nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang menyebutnya dengan nama Aceh Lhee Sagoe
( Aceh tiga Sagi ). Penyebutan ini berhubungan erat dengan situasi daerah itu
yang mencakup tiga sagi, yaitu disebut Sago ( Sagi ) XXV Mukim, Sago ( Sagi ) XXVI
Mukim, dan Sago ( Sagi ) XXII Mukim.
Selain itu, ada juga yang
menyebut dengan istilah Aceh Inti ( Aceh proper ), yang maksudnya Aceh sebenarnya.
Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada mulanya yang menjadi inti
Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah terletak ibukota kerajaannya, yang
bernama Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh Darussalam, yang oleh
orang - orang Aceh lazim disebut pula dengan nama Aceh saja.
1. Tentang Nama dan
Perkembangan Kerajaan
Dari nama asalnya Aceh dan
kapan istilah ini mulai digunakan merupakan suatu hal yang sulit untuk
dipastikan. Orang - orang asing yang pernah datang ke Aceh, menyebutnya dengan nama
yang berbeda - beda. Orang Arab menyebut Asyi, orang Portugis menyebut Achem atau
Achen, orang Belanda menggunakan istilah Acheen atau Achin, orang Prancis
mengatakan Achen atau Acheh. Di dalam naskah - naskah Melayu lama seperti kitab
Adat Aceh, Hikayat Aceh, dan kitab Bustanus Salatin, serta pada salah
satu jenis mata uang dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh ( sejenis coin
yang terbuat dari timah ), menyebutnya nama Aceh sebagaimana yang disebut
sendiri oleh orang - orang Aceh.
Mula muncul dan berkembangnya
Aceh sebagai sebuah kerajaan, berhubungan erat dengan penunjukkan kota Malaka
oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Sebelum diduduki oleh Portugis, Malaka
terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan pusat
penyebaran agama Islam yang di - lakukan oleh para pedagang Islam yang berasal
dari negara-negara Timur Tengah dan Gujarat ( India ). Penaklukan kota Malaka
dimaksudkan Portugis di antaranya untuk menghancurkan perdagangan orang-orang
Islam di sana.
Setelah berhasil, pihak
Portugis tidak memperkenankan lagi pedagang - pedagang Islam ini datang ke kota
Malaka. Akibat - nya, timbul kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan
Selat Malaka para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari sana, mencari
tempat - tempat lain. Salah satu sasaran mereka, yaitu Aceh. Dengan
berdatangannya para pedagang Islam ini, Aceh mulai berkembang sebagai tempat
per-dagangan. Selanjutnya oleh para saudagar Islam ini, Aceh digunakan sebagi
pengganti Malaka yang direbut oleh bangsa Portugis.
Menurut R.A. Hoesein
Djajadiningrat, Kerajaan Aceh pertama kali berdiri pada tahun 1514, dengan
rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah, yang juga sebagai pendiri kerajaan
ini. Selanjutnya dalam perkembangan sejarahnya, setelah sekitar satu abad
berdiri atau pada awal abad ke XVII, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya.
Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Kejayaan ini disebabkan
tindakan-tindakan dan kebijaksanaan - kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sultan
ini dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, bidang politik, bidang
sosial, dan bidang agama. Berikut ini digambarkan bagaimana struktur
politik Kerajaan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hingga
berakhirnya kesultanan Aceh pada awal abad ke XX.
2. Struktur Pemerintahan
Kerajaan Aceh
Saat Sultan Iskandar Muda
me-merintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh
adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu
Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok - kelompok rumah yang letaknya
berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan
sebutan Teungku Meunasah.
Selain itu, dalam sebuah
dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur - unsur pimpinan lainnya seperti yang
dinamakan Waki ( wakil ) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang
disebut Ureung Tuha ( orang tua ). Mereka yang tersebut terakhir adalah
golongan orang - orang tua kampung yang disegani dan ber-pengalaman dalam
kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha
Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang
lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari
beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan
sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pimpinan
Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab,
artinya Imam ( orang yang harus di-ikuti ). Imum Mukim inilah yang bertindak
sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid.
Pada mula dibentuk setiap
mukim diharuskan sekurang - kurangnya mempunyai 1000 orang laki - laki yang dapat
memegang senjata. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu
bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga - tenaga
tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan
dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala - kepala kampung atau
Keuchik - Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama
panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam
sembahyang pada setiap hari Jum’at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang
lain yang disebut Imuem Mesjid.
Di wilayah Aceh Rayeuk
( Kabupaten Aceh Besar sekarang ), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang agak
unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh
Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini, yang dapat dikatakan sebagai tiga
buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi tersebut masing - masing dinamakan :
1.
Sagi XXII Mukim,
2.
Sagi XXV Mukim, dan
3.
Sagi XXVI Mukim.
Penamaan ini erat
kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada masing - masing Sagi. Artinya
pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya sesuai dengan nama Sagi
yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi
ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian juga untuk kedua Sagi lainnya.
Tiap - tiap Sagi di atas,
diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima Sagoe atau Panglima
Sagi, secara turun - temurun. Mereka juga diberi gelar Uleebalang. Mereka sangat
berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh
Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan
Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung ( cap sembilan ).
Di luar dari ketiga Sagi
atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat unit-unit pemerintahan
yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim - mukim yang diikuti nama di
belakangnya ( nama tempat ). Pimpinan pemerintahan di Mukim - mukim ini sebagaimana
telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat mereka juga sama
dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah teritorial mereka
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.
Kepala pemerintahan Mukim
ini berada langsung di bawah pengawasan Sultan Aceh, jadi tidak di bawah
Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah disebutkan di atas. Adapun
nama - nama dari Mukim - mukim Masjid Raya yang terletak di sebelah kiri Sungai
Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim
Meuraksa.
Di luar dari mukim-mukim
yang berdiri sendiri ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim, tetapi
Kepala Mukimnya tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di
bawah dari ketiga Sagi yang telah disebutkan di atas.
Bentuk wilayah kerajaan
lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe
ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar Aceh
Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan melebihi seratus dan menyebar di
seluruh wilayah Aceh ( Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang ). Luas daerah
dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi dari masing-masing Nangroe tidak
sama. Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang, yang ditetapkan oleh adat
secara turun - temurun.
Mereka menerima kekuasaan
langsung dari Sultan Aceh, tetapi para Uleebalang ini merupakan Kepala Negeri
atau raja - raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing - masing. Namun
sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus
disyahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan
Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh, Cap Sikureung, seperti
telah disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan oleh Sultan Aceh kepada
Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang jumlahnya di-tetapkan oleh
Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan Sarakata, karena ia
merupakan status dari kekuasaannya.
Tugas Uleebalang adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenaga - tenaga tempur dari daerah
kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga menjalankan perintah - perintah
atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau perbekalan perang bila
dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan. Namun demikian mereka
masih merupakan pemimpin - pemimpin yang memonopoli kekuasaan di
daerahnya.
Dan masih tetap sebagai
pemimpin yang merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang berada
di wilayahnya. Misalnya dalam hal pengadilan atau melaksanakan hukuman. Namun
ketika kewibawaan Kesultanan Aceh masih kuat, Sultan memiliki hak istimewa atas
wilayah Nangroe. Hak - hak ini hanya dimiliki oleh Sultan, sedangkan Uleebalang
tidak. Dapat disebutkan misalnya hak untuk menghukum seseorang yang bersalah,
hak untuk me-ngeluarkan mata uang,hak untuk membunyikan meriam pada waktu
matahari terbenam, dan hak untuk mendapat panggilan dengan sebutan
Daulat.
Hak - hak ini sebenarnya
dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang - wenangan para Uleebalang, terutama yang
berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap seorang yang bersalah. Namun
ketika kewibawaan Sultan sudah melemah, terutama pada abad ke XIX dan awal abad
XX ( sesudah kesultanan Aceh tidak ada lagi ). Yang menetapkan hukuman
terhadap seseorang yang bersalah di Nangroe - nangroe adalah para Uleebalang.
Dalam memimpin
pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu - pembantunya seperti yang
disebut dengan Banta, yaitu adik laki - laki atau saudara Uleebalang, yang
kadang - kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan
berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang
membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam.
Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang
dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik
dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan - pimpinan pasukan
kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nangroe - nangroe tersebut
di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat
Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah
gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua
nangroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat,
tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nangroe bagian pantai Timur
dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut
dengan istilah Ulebalang Cut ( Uleebalang kecil ). Uleebalang Lapan ( Uleebalang
Delapan ), dan Uleebalang Peut ( Uleebalang Empat ). Namun kedudukan dari bermacam
jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam
struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan
di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku.
Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang
membawahi bidang masing - masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS), susunan
pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang
diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing
lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2.
Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3.
Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4.
Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5.
Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6.
Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7.
Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8.
Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9.
Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat
al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11.
Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12.
Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13.
Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14.
Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan Harta
15.
Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16.
Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17.
As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18.
Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19.
Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20.
Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21.
Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22.
Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23.
Imam Muluk atau Imam Raja
24.
Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga
atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orang - orang tertentu
yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan - jabatan itu di Kerajaan Aceh,
terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat
disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi
Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah
1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang ( Hulu Balang Empat )
dan tujuh orang alim ulama, serta menteri - menteri Kerajaan Aceh.
2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim
ulama serta menteri - menteri Kerajaan Aceh, dan
3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh
puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap - tiap mukim diwakili oleh
satu orang.
Selain ketiga lembaga di
atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar
Muda”, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan
perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana , yang tunduk atau
berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang
tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase ( Bea Cukai ). Balai ini tunduk pada
perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan
Aceh tunduk kepada Kanun.
Demikian struktur Kerajaan
Aceh hingga berdamainya Sultannya yang terakhir Sultan Mahmud Daud Syah dengan
Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena
setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda, hingga tahun 1942.
Saleum Rakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar