Tangisan seorang ibu bermula ketika dia
mengetahui dirinya hamil. Tangisan bahagia sekaligus tawa sumringah berpadu
menjadi satu. Ketika dia merasakan untuk pertama kalinya, ada seorang calon
bayi yang tumbuh di dalam rahimnya. Dan akan merasakan serta menghirup
kehidupan dunia dalam asuhannya dan naungan kasihnya. Setelah melewati bulan
demi bulan kehamilan yang terkadang lancar dan mulus, tetapi tak jarang pula
kehamilan itu diwarnai perjuangan untuk mempertahankan Sang Anak, membuat
tangis dan tawa memenuhi hari-harinya.
Banyak kejadian ketika seorang ibu harus
berjuang melawan rasa mual yang luar biasa umumnya dalam 3 bulan pertama,
sampai kena maag karena terus-menerus muntah tanpa bisa diisi apa pun termasuk
air putih. Belum lagi, ketika kandungan mulai membesar, tak jarang komplikasi
beruntun. Mulai dari kadar gula darah yang meningkat dan mungkin membahayakan
Sang Anak, kaki yang bengkak akibat kebanyakan garam dan kemungkinan
menyerangnya preeklampsia serta dilanjutkan dengan eklampsia. Belum lagi ada
resiko keguguran di tengah jalan akibat begitu banyak flek alias pendarahan
yang terjadi selama kehamilan.Toksoplasma juga mungkin menggangu. Dan rentetan
penyakit lainnya yang berpotensi menghentikan kehamilan itu seketika. Banyak
kali, seorang ibu hanya menangis memikirkan kemungkinan-kemungkinan bahwa Sang
Anak harus pergi dari rahimnya.
Tangisan haru seorang ibu berlanjut ketika
Sang Anak lahir ke dunia dengan selamat. Disambutlah ia dengan suka cita. Saat
itu berpadulah tangisan dan tawa menjadi satu. Bahagia menjadi seorang ibu,
lengkaplah sudah dirinya sebagai wanita, sekaligus memiliki PR panjang untuk
membesarkan anak. Bukan hanya memberikan ASI eksklusif dan menemani Sang Bayi
dalam waktu-waktu panjang yang terkadang harus dilalui sendirian dalam
malam-malam ‘sleepless nights’. Kurang tidur, begadang, jaga sampai pagi,
bangun tengah malam, hanya untuk mengurusi Sang Anak. Sekaligus kebahagiaan
tersendiri, tawa ceria kembali menghiasi ketika Sang Anak sudah mulai bisa
tengkurap, merangkak, berdiri, duduk, berjalan. Ketika Sang Anak bisa mulai
menggumamkan “Mama atau Papa,” selalu disambut dengan kebahagiaan luar biasa.
Semua yang untuk pertama kalinya dicatat dalam buku hariannya, buku
kehidupannya sebagai seorang ibu.
Ketika Si Anak mulai memasuki balita
sampai mereka lebih mengerti mungkin sekitar umur 7-8 tahunan, tangisan itu
terkadang hadir ketika harus mendidik dan mendisiplinkan Sang Anak. Karena
lelah, karena tak sanggup menahan segala tekanan ketika mengasuh anak apalagi
jika ibu ini bekerja atau ibu rumah tangga tanpa bantuan dari pembantu atau
‘baby sitter’, terkadang menjadikannya tidak sabaran. Dan ketika dia mulai
marah kepada anaknya, berteriak kencang, sering kali dia kemudian menyesali apa
yang dilakukan. Namun memang Si Anak terkadang juga masih belum mengerti dan
melakukan apa yang dilarang. Tak jarang membahayakan Si Anak sendiri. Dalam
ketakutan, dalam kekuatiran, dalam kelelahan, tak jarang Si Ibu menyimpan
tangisnya sendirian. Walaupun tawa ceria juga hadir ketika Si Anak semakin
pintar, semakin cerdas, semakin mampu berdoa, semakin menceriakan hari-harinya.
Tangisan juga hadir dari dulu ketika Si
Anak lahir, terutama ketika dia sakit. Dengan pikiran yang umum, “ Mending Mama
yang sakit daripada kamu, Nak,” begitu kata hati seorang ibu. Si Anak kecil
yang belum lancar bicara, ketika sakit tak mampu bilang bagian mana yang sakit.
Dia hanya menangis dan sebagai ibu pasti juga menangis sedih melihat Si Anak
sakit.
Tangisan ini terkadang menjadi lebih
keras, ketika Si Anak sakit keras dan mungkin sulit diobati. Pergumulan antara
uang yang pas-pasan yang terkadang sampai tak cukup untuk berobat dengan
keinginan untuk menyembuhkan Si Anak apa pun yang terjadi, menjadi dilema
tersendiri. Namun ketika Si Anak kembali sembuh seperti sedia kala, yang ada
hanya senyuman bahagia. Syukurlah, anakku sudah sembuh!
Tangisan bahagia itu hadir ketika melihat
Si Anak melewati masa-masa sekolahnya. Tahun berganti tahun,
TK-SD-SMP-SMU-Universitas, pelan-pelan terlewati dengan segala masalah yang
mengiringinya. Kurang biaya sekolah, anak berpacaran sementara konsentrasi
terhadap pelajaran menjadi buyar namun akhirnya bisa dilewati semua dengan
baik. Setelah kuliah, Si Anak bekerja dan tak lama akan menikah.
Dalam pergumulan menentukan jodoh, seorang
ibu juga sering menangis mendoakan anaknya yang belum juga mendapat jodoh
sementara usia sudah beranjak terus. Gelisah, resah, galau, berganti ceria
ketika Si Anak sudah mendapatkan jodoh yang sesuai. Tangisan itu masih mengiringi
ketika Sang Cucu hadir. Tangisan haru. Tangisan bahagia. Bercampur senyum manis
sumringah. Satu babakan hidup lagi sudah berlalu.
Tangisan dan senyuman itu terus dan terus
berjalan. Tak henti-hentinya. Bukankah dalam setiap babak kehidupan juga adalah
gabungan keduanya? Tak mungkin juga senyum terus-menerus. Atau sebaliknya, selalu
menangis tak kunjung usai. Seorang ibu terus mengkhawatirkan anak-cucunya.
Selalu terlibat dalam tangisan dan senyum suka cita. Selalu berdoa untuk
anak-cucunya agar mereka sehat dan bahagia. Walaupun dia simpan air matanya,
dia menegarkan dirinya untuk mengarungi kehidupan ini. Berdiri tegar bagi
keluarganya.
Beberapa perkawinan harus hancur di tengah
jalan. Karena ketidakcocokan lagi sehingga harus bercerai atau mungkin karena
salah satu pasangan meninggal terlebih dahulu. Ibu mana yang bisa tak peduli
dengan hal-hal semacam ini? Dia menangis bersama anaknya untuk setiap kejadian
memilukan seperti ini. Dan memberikan harapan serta kekuatan, bahwa akan ada
hari esok yang lebih baik. Yang harus dilakukan hanyalah tetap berharap dan tak
berhenti berjalan. Tetap percaya akan keindahan kehidupan yang mungkin
tersembunyi, namun selalu ada bagi mereka yang mau mencari dengan teliti dan
tanpa henti.
Tangisan dan tawa mengiringi kesetiaan
seorang ibu sampai akhir hayatnya. Dan bersama figur ayah yang juga setia,
mereka bersama mengarungi bahtera rumah tangga sampai maut memisahkan mereka
serta mempersatukan mereka kembali dengan Sang Pencipta.
Saleum Rakan